Minggu, 14 April 2013

You and Your Careless

0 komentar

"Kadang ketika aku jatuh, aku berpikir kau akan menolongku, walau nyatanya, tidak. bahkan aku tak yakin kau tahu aku jatuh.

Perlu kah aku memberitahumu?

Kau bahkan tak pernah melirikku.

Rasanya sakit, jika ada yang bertanya padaku, meski dalam kensuyian.

Aku menatap jalan hitam itu.

Lurus dan tak berujung.

Genggam tanganku, jaga aku.

Mungkinkah?

Oh, tidak, ya?

Aku berusaha untuk berjalan terus, menatap ke depan.

Tahukah rasanya begitu sesak saat aku menahan diriku sendiri untuk tak menoleh ke belakang?

Melihatmu, apakah kau ada dibelakangku, mengikutiku dalam diam.

Namun, di satu sisi aku juga sadar, kau tak ada dibelakangku. Sejak dulu hingga sekarang.

Karena memang bukan milikku. Kau miliknya.

Salahkah jika aku berharap?

Salahkah aku jika mendamba?

Bahkan, salahkah jika aku ingin menghapusmu?

Is it OUR ending?

0 komentar

“Dion kemana, Nay?”

Naya menoleh sebentar ke arah Kak Maya sebelum memalingkan wajahnya. Ia menggigit bibir bawahnya. Dengan ragu-ragu, ia menjawab, “Err, di aula kali, kak.”

“Kok kali, Nay? Kenapa? Kalian berantem?”

Kadang punya teman seperti Kak Maya bukanlah pilihan bagus, pikir Naya. Ia selalu ingin tahu. Garis bawahi itu, ingin tahu. Tentang hal apapun—terutama yang membuatnya penasaran. Tapi mungkin karena faktor nama yang hampir sama lah membuat mereka cepat akrab dan berteman baik.

“Enggak kok, kak. Hehe.” Naya hanya mengeluarkan cengiran kecilnya. Sementara Maya yang tidak percaya melihat gelagat meragukan Naya pun memicingkan matanya. Perlu 1000 tahun bagi Naya jika ingin membohonginya.

“Beneran?”

“Iya, kakakku sayang~”

“Tapi nanti kalo ada apa-apa cerita ya?”

“Aye!”

Hampir saja, batin Naya. Ia memang akhir-akhir ini ingin menjauh dari Dion. Dan ia melakukannya. Mulai dari jarang membalas sms dari Dion hingga selalu menghindar jika melihat atau akan berpapasan dengan pacarnya itu. Sejauh ini Dion memang tak pernah mengatakan apa-apa namun tetap saja Naya yakin remaja lelaki itu menyadari kelakuannya. Dion seperti memberinya waktu untuk melakukan apa yang Naya mau sementara dirinya sendiri berdiri terdiam dan menunggu Naya untuk kembali padanya.

Jika itu benar adanya, Naya akan merasa seperti orang yang tidak punya hati.

“Pasti berantem lagi deh.” Gumam  Maya tapi sempat terdengar oleh telinga Naya.

“Apa?”

“Eh?” Maya yang baru sadar jika gumamannya terdengar segera mengarahkan dagunya—seolah menunjuk ke arah jauh di depan mereka.

Naya refleks menoleh ke arah yang ditunjuk Maya dan menemukan Dinda dan Delon berdiri berhadap-hadapan di bawah ring bola basket. Mereka tampaknya tengah membicarakan masalah yang cukup serius.

“Padahal baru aja pacaran tapi sering berantem.”

Hah, dasar pasangan baru----

--APA?

“Apa?” Naya segera menatap Maya tak percaya. Ia tidak pernah punya keluhan tentang pendengarannya, jadi kemungkinan apa yang ia dengar tadi sama sekali tak salah.

“Apanya, Nay?”

“Mereka udah jadian?” Sebisa mungkin Naya menjaga suaranya agar terdengar tetap normal.

“Yap, baru aja.”

“Oh.”

Tidak, banyak sekali kata yang ingin ia utarakan saat itu. Bukan hanya Oh, sungguh. Rasanya...ia benar-benar patah hati kini. Di saat ia menjauh sebentar saja dari Delon. Di saat perhatiannya mulai terfokus pada Dion, dulu. Di saat ia ingin mencoba dekat kembali dengan Delon. Di saat ia merasa...melepaskan Dion dan mendapatkan Delon adalah hal yang benar.

Apa ini karma?  Padahal ia belum melakukannya tapi efeknya sudah terasa sesakit ini, bagaimana jika ia malah sudah mengakhirinya?

Dan kenapa harus Dinda? Dari sekian gadis yang ada di dunia, kenapa harus dia? Kenapa harus gadis yang sangat membencinya semenjak ia mulai mengenal Delon? Kenapa harus gadis yang selalu mengekor Delon ke mana-mana? Sungguh, kenapa?

“Eh Nay, aku pulang dulu ya. Mamaku udah sms nih.”

Naya yang sedari tadi menatap tanah dengan pandangan kosong segera mengalihkan perhatiannya ke Maya yang sedang berkutat dengan hpnya. Mencoba tersenyum ia menjawab, 

“Oke. Hati-hati ya kak!”

Maya pun hanya mengangguk dan mulai menjauh pergi.

Seketika itu pula Naya baru teringat sesuatu. Bukankah Delon sendiri pernah berkata bahwa ia sama sekali tak menyukai Dinda dan tak akan mungkin menyukainya? Tapi kini? Cih, pembohong.

Tiba-tiba Naya merasa dadanya sangat sesak dan air mata yang tertimbun di pelupuknya kini mencoba keluar, menyapu wajahnya. Ia hanya bisa menangis dalam hati dan menahan air matanya itu. Tak boleh ada seorang pun bahkan sesuatu pun yang meruntukan ketegaran dan kokohnya topeng itu.

Tanpa pikir panjang ia segera meraih hp-nya dan mengetik sms.

To: Mine.
Kamu dimana? Aku kangen.

Tak lama kemudian ada sms masuk di inbox hp-nya,

From: Mine.
Aula. Ke sini aja. Aku juga kangen, kita jarang ketemu soalnya hehe.

 Naya tak peduli jika ada orang yang menganggapnya menjadikan Dion sebagai pelampiasan saat ini. Ia hanya butuh sandaran yang kokoh dan mengamankan. Dan hal itu hanya bisa ia dapatkan dari Dion. Hanya Dion.

Ia baru saja akan berjalan menuju Aula saat ia teringat sesuatu yang penting.

To: My be<3d bestie="" i="">
He’s taken. The others MINE.
I just cant stand it anymore. I dont care if you’ll call me overact or dramaqueen. But really, Im about to die.

....senayadelon...

Playlist: Mine – Taylor Swift (Covered by Glee)