“Krek krek krek”
Tami berjalan sambil menyeret sepatu rodanya. Hari ini sepertinya akan menjadi hari tersial dalam hidupnya. Bukan karena sepatu rodanya ngadat lagi seperti biasanya. Yang ini lebih parah! Ada ulangan matematika dan dia sama sekali belum belajar. Tentu bagi sebagian orang hal itu gak begitu penting karena ada prinsip tinggal nyontek kok susah amat?. Tapi hal itu gak berlaku dong buat Tami. Emang dia gak pinter-pinter amat tapi seenggaknya dia masih pantang sama yang namanya nyontek. Mampusnya lagi ntar yang jaga waktu ulangan adalah...Pak Nurdin, guru paling sangar se-sekolah. Waktu jaga matanya itu gak pernah lepas dari satu persatu siswa. Jangankan nyontek, gerak dikit aja udah di omelin panjang lebar.
“Tami, berapa kali sih bapak bilang dilarang membawa sepatu roda ke sekolah!”, teriak Pak Nurdin.
Wah panjang umur! “Eh itu pak anu-apa-eh-eng saya lupa”
“Lupa lupa kamu itu masih muda kok gampang lupa! Jangan banyak alesan!”
“Loh beneran pak saya gak boong?”
“Demi?”
“Demi bapak deh!”
“Tami!”
Tami berlari menjauh. “Haha biarin ntar kalo ulangan ketemu Pak Nurdin lagi. Seenggaknya aku bebas sekarang.”
KcT
“Tami!”, sapa Melinda saat Tami baru melangkah masuk ke kelas IX G.
“Apa?”
“Ya ampun jangan lemes napa! Eh ntar kan ada UH Matematika. Udah belajar?”
“Belom. Kamu?”
“Halah kan tinggal nyontek kok susah amat sih?”
Nah lo itu quote andalan anak IX G! “Males ah. Curang”
“Jangan ajak dia Mel! Dia anak alim wooo”, celah Rendi.
“Emang weeek -_-“
“Woi ada guru!”
Bagai diberi instruksi gawat darurat seluruh siswa IX G langsung duduk ke bangku masing-masing. Gak lama kemudian Pak Nurdin datang dan langsung membagikan ulangan tanpa memberikan waktu belajar. “Tamat kamu, Tam!”, batin Tami.
Selama ulangan, benar aja gak ada anak yang berani bergerak. Melinda yang tadinya pede tingkat dewa jadi bingung sendiri. Tuh kan! Tami apalagi, belum ada satu nomer pun yang dia kerjain. Tami cuma bisa komat-kamit dalam hati “Semoga hari ini ada keajaiban tak terduga yang terjadi”. Tapi percuma kalo ternyata Tuhan gak memberi keberuntungan hari ini, dia harus gimana? Nyontek? Pantang coi -_-. Mungkin emang sekarang saatnya dia buang jauh-jauh ke-alim-an-nya. Ah kebanyakan mikir nih, batin Tami. Terus keputusannya gimana.....well,
“Hssst, Tami hssst Tami”, bisik Surya dari belakang. Tami menaikkan sebelah alisnya.
“Kasihin ini ke Rendi cepet!”
“Nyantelo”, jawabnya ketus. Sekali gerakan Tami sudah melempar kertas dari Surya tepat ke muka Rendi. “Dari Surya”, kata Tami.
Rendi menoleh ke arah Surya sambil menggelengkan kepala “Gak bisa”, desisnya.
“Ayolah Ren beneran nih aku gak bisa”
“Yee sama aja”
“Surya, Rendi, kalian mau diam atau keluar dari kelas ini?!”, suara Pak Nurdin menggelegar di sekeliling kelas. Seketika semua mata tertuju ke arah mereka berdua. Mereka langsung tenggelam ke kertas ulangan masing-masing. “Dengar ya kalau ada yang berani nyontek, saya keluarkan kalian dari kelas ini!”
Setelah itu semua anak kembali mengerjakan. Ada yang garuk-garuk kepala, ada yang celingak-celinguk kanan kiri nyari contekan dan bagi yang pinter, pada serius ngerjain. Tami memilih buat baca soal ulangan 3 kali supaya bisa ngerjain eh tetep aja gak bisa. Tiba-tiba, ada pikiran curang yang terlintas di benaknya. Dia merobek sebuah kertas dan menyalin soal ulangannya, meremasnya, lalu dia bersiap melempar kertas itu ke arah Melinda. Pilihan terakhir: nyontek atau ngerjain sendiri. “Ngerjain sendiri, Tam. Trust yourself” Akhirnya, Tami ngerjain sendiri. Gak peduli nilainya bagus apa gak. Yang penting itu hasil kerjanya sendiri.
KcT
“Gimana Mel tadi ulangannya? Bisa?”, tanya Tami saat mereka berada di kantin setelah ulangan usai.
“Gak bisa, Tam! Beneran deh otakku nge-blank pake ya gerak dikit aja di kira nyontek untung aja tadi Rendi sama Surya gak ketahuan, kalo ketahuan bisa-bisa kita sekelas yang kena imbasnya deh”
“Haha apa juga aku bilang? Nyontek itu dosa tau”
“Iya iya ustadz -_-“
“Eh Tam di panggil Pak Nurdin tuh!”, seru Radit.
“Hah? Ada apa emangnya?”
“Gak tau”
“Jangan-jangan aku dapet nilai tertinggi lagi haha :p”, ucap Tami bangga.
“GR kamu Tam woo”
“who’s know? Maybe I’m true :)”, kata Tami sambil pergi ke ruang guru untuk menemui Pak Nurdin.
KcT
“Permisi, Pak”, salam Tami di depan pintu ruang guru.
“Oh Tami, ke sini kamu”, perintah Pak Nurdin.
Gak tau kenapa, Tami merasa perasaannya mulai gak enak apalagi saat melihat air muka Pak Nurdin berubah menjadi...lebih seram dari biasanya dan ini salah satu pertanda buruk bagi Tami. “Wih kayaknya aku bakal bad news nih, sumpah rasanya deg-degan banget”, batinnya.
“Tamindra Maheswara, katakan yang sejujurnya, tadi saat ulangan kamu nyontek apa enggak?”
Tuh kan! Di tuduh nyontek! “Enggak kok Pak! Saya gak nyontek sama sekali, Pak. Beneeeeeeraaan deh, Pak. Gak bohong, Pak. Suweeer ._.v”
“Lalu ini apa?”, Pak Nurdin menyodorkan sebuah kertas lusuh ke arah Tami. “Buka dan baca”, perintahnya.
“Apaan ini?”, desis Tami pada dirinya sendiri. Tapi kok kayaknya dia pernah tau ya kertas ini. Dan saat dia membuka kertas itu...JDERR! Ini kan kertas contekan yang tadi mau dia kirim ke Melinda, Ah dia lupa buang! Tapi kan tetep aja gak jadi nyontek! “Apa itu, Tami?”, tanya Pak Nurdin lagi. Kali ini dengan suara penuh kemenangan.
“Ini kertas, Pak.”
“Tami?!”
“Eh iya pak aduh ini- saya bisa jelasin semuanya kok, Pak”
“Baiklah karena saya baik hati hari ini, coba jelaskan.”
“Memang ini punya saya. Jujur tadi saya memang kepikiran untuk nyontek, tapi akhirnya saya buang pikiran itu jauh-jauh.”
“Kenapa?”
“Karena saya gak suka nyontek, Pak. Curang, tidak jujur. Bagi saya, menyontek sama saja tidak menghargai kemampuan kita sendiri. Saya merasa lebih bangga ketika nilai saya jelek tapi itu dengan kemampuan saya sendiri daripada saat nilai saya bagus tapi itu hasil menyontek.”
Pak Nurdin tersenyum. Baru pertama kali ia bertemu anak seperi Tami. Memang anak ini tergolong acuh dalam mentaati peraturan sekolah namun ternyata Tami tak seburuk dugaannya. Setidaknya, Tami masih mau mengakui perbuatannya “Kamu tau, dulu kalau saya itu pencontek ulung?”
Tami melotot mendengar ucapan itu. “Maaf, Pak? Bapak bercanda kan? Wow bagaimana bisa Pak?, matanya berbinar.
“Dulu saya itu pencontek ulung. Saya sering mencontek kalau saya tak sempat belajar. Namun saat menyontek, saya tak pernah ketahuan. Bahkan teman yang saya contek sering tidak tau kalau saya yang menyontek jawabannya. Nilai saya saat itu pun bagus-bagus.”
“Namun, akhirnya saya berpikir, saya akan bodoh kalau saya hanya mengandalkan contekan. Mulai saat itu saya selalu belajar dan berusaha sendiri sampai akhirnya saya jadi seperti ini. Oleh karena itu saya tau persis segala macam gerak-gerik para siswa yang akan mencontek.”
Tami terdiam. Dia masih merasa surprise. Siapa yang akan menyangka, Pak Nurdin, guru terdisplin, tertegas, ter-sangar di sekolah adalah bekas pencontek ulung? “Saya merasa sungkan kalau berhadapan dengan mantan penyontek ulung seperti bapak. Apalagi kalau teman-teman saya yang menyontek itu tahu, pasti mereka yang merasa lebih sungkan.” , ucapnya dengan cengiran.
“Haha, kamu itu. Jangan beri tahu hal itu pada teman-temanmu. Biarlah mereka beraksi. Toh mereka hanya tau kalau saya ini guru yang tegas, bukan mantan pencontek ulung. Ya sudah kalau begitu. Kamu boleh keluar.”
“Baik. Terima kasih, Pak. Permisi.”
KcT
“Tami! Gimana tadi?”, tanya Melinda saat berpapasan dengan Tami di koridor.
“Gimana apanya?”
“Yang kamu di panggil sama Pak Nurdin tadi loh!”
“Oh itu. Gak ada apa-apa kok. All is well.”
“Really?”
“Iya”, jawab Tami sambil berjalan pergi. Tiba-tiba ia teringat sesuatu, lalu ia berbalik, “Melinda!”
Melinda menoleh. “Apa?”
“Jangan keseringan nyontek. Soalnya di sekolah ini ada yang pernah jadi pencontek ulung dan dia selalu mengawasi kita.”
Melinda mengernyitkan keningnya. “Hah? Siapa?”
“Seseorang yang gak kan pernah kita sangka :)”, lalu dia berjalan lagi. Ya, ternyata Tuhan memberikan keberuntungan besar untuknya hari ini. Keberuntungan telah menunjukkan bahwa apa yang selama ini dipikirkannya adalah hal yang benar.
KcT
0 komentar:
Posting Komentar