Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label cerpen. Tampilkan semua postingan

Minggu, 14 April 2013

Is it OUR ending?

0 komentar

“Dion kemana, Nay?”

Naya menoleh sebentar ke arah Kak Maya sebelum memalingkan wajahnya. Ia menggigit bibir bawahnya. Dengan ragu-ragu, ia menjawab, “Err, di aula kali, kak.”

“Kok kali, Nay? Kenapa? Kalian berantem?”

Kadang punya teman seperti Kak Maya bukanlah pilihan bagus, pikir Naya. Ia selalu ingin tahu. Garis bawahi itu, ingin tahu. Tentang hal apapun—terutama yang membuatnya penasaran. Tapi mungkin karena faktor nama yang hampir sama lah membuat mereka cepat akrab dan berteman baik.

“Enggak kok, kak. Hehe.” Naya hanya mengeluarkan cengiran kecilnya. Sementara Maya yang tidak percaya melihat gelagat meragukan Naya pun memicingkan matanya. Perlu 1000 tahun bagi Naya jika ingin membohonginya.

“Beneran?”

“Iya, kakakku sayang~”

“Tapi nanti kalo ada apa-apa cerita ya?”

“Aye!”

Hampir saja, batin Naya. Ia memang akhir-akhir ini ingin menjauh dari Dion. Dan ia melakukannya. Mulai dari jarang membalas sms dari Dion hingga selalu menghindar jika melihat atau akan berpapasan dengan pacarnya itu. Sejauh ini Dion memang tak pernah mengatakan apa-apa namun tetap saja Naya yakin remaja lelaki itu menyadari kelakuannya. Dion seperti memberinya waktu untuk melakukan apa yang Naya mau sementara dirinya sendiri berdiri terdiam dan menunggu Naya untuk kembali padanya.

Jika itu benar adanya, Naya akan merasa seperti orang yang tidak punya hati.

“Pasti berantem lagi deh.” Gumam  Maya tapi sempat terdengar oleh telinga Naya.

“Apa?”

“Eh?” Maya yang baru sadar jika gumamannya terdengar segera mengarahkan dagunya—seolah menunjuk ke arah jauh di depan mereka.

Naya refleks menoleh ke arah yang ditunjuk Maya dan menemukan Dinda dan Delon berdiri berhadap-hadapan di bawah ring bola basket. Mereka tampaknya tengah membicarakan masalah yang cukup serius.

“Padahal baru aja pacaran tapi sering berantem.”

Hah, dasar pasangan baru----

--APA?

“Apa?” Naya segera menatap Maya tak percaya. Ia tidak pernah punya keluhan tentang pendengarannya, jadi kemungkinan apa yang ia dengar tadi sama sekali tak salah.

“Apanya, Nay?”

“Mereka udah jadian?” Sebisa mungkin Naya menjaga suaranya agar terdengar tetap normal.

“Yap, baru aja.”

“Oh.”

Tidak, banyak sekali kata yang ingin ia utarakan saat itu. Bukan hanya Oh, sungguh. Rasanya...ia benar-benar patah hati kini. Di saat ia menjauh sebentar saja dari Delon. Di saat perhatiannya mulai terfokus pada Dion, dulu. Di saat ia ingin mencoba dekat kembali dengan Delon. Di saat ia merasa...melepaskan Dion dan mendapatkan Delon adalah hal yang benar.

Apa ini karma?  Padahal ia belum melakukannya tapi efeknya sudah terasa sesakit ini, bagaimana jika ia malah sudah mengakhirinya?

Dan kenapa harus Dinda? Dari sekian gadis yang ada di dunia, kenapa harus dia? Kenapa harus gadis yang sangat membencinya semenjak ia mulai mengenal Delon? Kenapa harus gadis yang selalu mengekor Delon ke mana-mana? Sungguh, kenapa?

“Eh Nay, aku pulang dulu ya. Mamaku udah sms nih.”

Naya yang sedari tadi menatap tanah dengan pandangan kosong segera mengalihkan perhatiannya ke Maya yang sedang berkutat dengan hpnya. Mencoba tersenyum ia menjawab, 

“Oke. Hati-hati ya kak!”

Maya pun hanya mengangguk dan mulai menjauh pergi.

Seketika itu pula Naya baru teringat sesuatu. Bukankah Delon sendiri pernah berkata bahwa ia sama sekali tak menyukai Dinda dan tak akan mungkin menyukainya? Tapi kini? Cih, pembohong.

Tiba-tiba Naya merasa dadanya sangat sesak dan air mata yang tertimbun di pelupuknya kini mencoba keluar, menyapu wajahnya. Ia hanya bisa menangis dalam hati dan menahan air matanya itu. Tak boleh ada seorang pun bahkan sesuatu pun yang meruntukan ketegaran dan kokohnya topeng itu.

Tanpa pikir panjang ia segera meraih hp-nya dan mengetik sms.

To: Mine.
Kamu dimana? Aku kangen.

Tak lama kemudian ada sms masuk di inbox hp-nya,

From: Mine.
Aula. Ke sini aja. Aku juga kangen, kita jarang ketemu soalnya hehe.

 Naya tak peduli jika ada orang yang menganggapnya menjadikan Dion sebagai pelampiasan saat ini. Ia hanya butuh sandaran yang kokoh dan mengamankan. Dan hal itu hanya bisa ia dapatkan dari Dion. Hanya Dion.

Ia baru saja akan berjalan menuju Aula saat ia teringat sesuatu yang penting.

To: My be<3d bestie="" i="">
He’s taken. The others MINE.
I just cant stand it anymore. I dont care if you’ll call me overact or dramaqueen. But really, Im about to die.

....senayadelon...

Playlist: Mine – Taylor Swift (Covered by Glee)

Jumat, 12 April 2013

Sweet Revenge

0 komentar

Warnings: Typos. OC.Semi-AU. Drama.
SNAD Series: Sweet Revenge
.
.
.
Naya menjetikkan jarinya tak sabar di atas kemudi mobilnya. Macet kali ini benar-benar menyebalkan. Hampir dua jam lamanya ia terjebak di jalanan Ahmad Yani yang mana sudah sangat dekat jaraknya dengan SMA-nya. Ia melirik kecil ke arah lampu merah— yang mana sama seperti namanya, masih berwarna merah. Bahkan timer di lampu merah itu masih menunjukkan angka ke 34 detik tapi begitu ia sadar, ia masih jauh dari ujung perempatan. Mobil merah marunnya masih berada di daerah tengah dari kerumunan kendaraan yang terjebak macet. Dan itu jelas membuatnya masih harus menunggu beberapa saat lagi untuk bisa mengemudi secara lancar.
Ia memutuskan untuk mengalihkan perhatiannya pada switch frekuensi radio, memutarnya secara random sambil mendengarkan lagu yang kiranya memiliki tempo beat— yang sayangnya sama sekali tak ia temukan. Rata-rata lagu yang diputar saat itu bertempo slow. Darn. Sepertinya hari ini memang bukan harinya. Tanpa sadar, pipinya sudah menggembung dengan sendirinya.

“Udah lah, Nay. Sabar aja. Toh bentar lagi juga kita bebas dari macet ini.” kata Adel duduk disebelahnya dengan santai sambil tetap fokus pada tablet di genggamannya. Ia sesekali tersenyum melihat balasan e-mail yang dikirim oleh Shin— kekasihnyayang berada di Jepang.

Ya, Jepang. Beberapa tahun lalu Adel dan Naya berhasil lolos seleksi pertukaran pelajar ke Jepang dan tinggal bersama disana. Banyak sekali hal yang telah terjadi, baik yang menyenangkan hingga yang menyedihkan. Walau, apa pun yang terjadi, itu malah membuat persahabatan mereka lebih erat.

Terutama selama di Jepang, Adel dan Naya berusaha sekeras mungkin untuk melupakan dua kakak senior mereka kali itu. Sakit rasanya, ketika tahu jika harapan yang selama ini diumbar kedua remaja lelaki itu hanyalah sekedar janji kosong tanpa bukti— apalagi ketika sebelum lulus, ternyata keduanya telah mempunyai kekasih yang tentunya bukan diri Adel dan Nayasendiri.

Butuh perjuangan keras, untuk bangkit dari keterpurukan itu. Mungkin tidak semendramatisir itu, hanya saja, bagi dua orang gadis remaja berumur 16 tahun yang untuk pertama kalinya merasa jatuh cinta— atau dalam rangka ini masih dihitung sebagai rasa suka atau sayang— dan patah hati di saat pertamanya mengalami hal itu, bukanlah pengalaman yang menyenangkan.

Untungnya, mendapat beasiswa ke Jepang seakan mengajarkan mereka bahwa perpindahan secara permanen itu perlu. Perpindahan hati— secara permanen, tanpa membanding-bandingkan yang dulu dan sekarang serta berusaha keras untuk tak menengok masa lalu.
Kini, mereka berdua telah menjadi wanita karir yang sukses. Naya menjadi seorang translator— penerjemah untuk beberapa bahasa, terutama Bahasa Inggris dan Bahasa Jepang atau dengan pekerjaan sampingannya sebagai penulis. Lain lagi dengan Adel yang memang fokus untuk menulis beberapa novel lepas atau berseri serta terkadang ia menerjemahkan novel berbahasa Inggris dalam Bahasa Indonesia.

Selain itu, keduanya juga berhasil memberangkatkan haji kedua orang tuanya, sesuai dengan impian mereka dulu. Bahkan ketika itu mereka bersama dalam satu rombongan, seolah-olah memang begitulah seharusnya. Naya tersenyum, ia berjanji takkan melupakan hari itu.

Berbeda dengan urusan hati, setelah putus dari Dion sebelum lulus kala itu, sampai sekarang Naya masih ingin sendiri. Meskipun ia memangdekat dengan beberapa lelaki seperti Didi, Bernard, Yamamoto bahkan Eka, tapi tak satu pun dari mereka yang benar-benar bisa membuatnya melupakan sosok itu. Tapi sepertinya, untuk sekarang, Ryouta masih berhasil mempertahankan tempatnya tersendiri di sisi Naya. Rencananya pula, Ryouta akan ke Indonesia bersama Shin akhir bulan ini jika tak ada perubahan.

Suara klakson yang bersahut-sahutan pertanda beberapa orang mulai tidak sabar menanti kemacetan pun membuyarkan pikiran Naya yang sedari tadi melanglang buana.

“Tapi tetep aja kan, Del, kita niatnya kan buat dateng 2 jam lebih dulu dari waktu reunian, eh ini malah kita kena macet disini, dan sebentar lagi itu, acaranya dimulai.”

“Naya-chan, sabar ya, oke?” Adel menggerakkan dagunya ke arah lampu merah yang kini mulai berwarna hijau. “Lampunya udah hijau tuh, Nay. Cepet sana!”

Mengangguk sekilas, Naya segera mengemudikan mobilnya cepat. Ia sudah terbiasa menjadi perfeksionis dari kecil dan apapun yang ia lakukan setidaknya harus mendekati sempurna— bahkan sesuai dengan rencananya. Tak ada yang bisa menghalangi kesempurnaan rencananya, sekalipun macet saat ini.

“Puas, Nay?”

Naya tersenyum lebar saat melewati sebuah toko buku yang biasa ia kunjungi bersama Adel saat mereka SMA dulu— setelah mereka melewati lampu merah tadi. “Sangat.”

Adel hanya menggelengkan kepalanya, maklum.

.......
SNAD
.......
 Lelaki itu menatap bangunan sekolah yang sudah hampir belasan tahun ia tinggalkan. Sekolah ini sudah banyak berubah. Bangunannya kini tampak lebih mewah— mengingat sekarang sekolah ini telah menaikkan ‘derajatnya’ menjadi sekolah berstandar internasional. Ia juga mendengar dari beberapa teman lamanya jika sekolah ini juga telah menerapkan metode bilingual atau dua bahasa yang dipakai dalam kegiatan belajar mengajar dan komunikasi antar warga sekolahnya sendiri.

Ia meringis kecil. Merasa beruntung ia telah lulus jauh-jauh hari. Ia memang sedari dulu tidak terlalu bersahabat dengan bahasa internasional yang satu itu.

Mata hitam beningnya menoleh ke sekeliling. Ia melihat begitu banyak orang, dengan berbagai raut wajah— dimana wajah bahagia paling mendominasi, wajah-wajah yang cukup asing, macam-macam gaya berpakaian hingga kendaraan yang mereka naiki.

Ia mengamati kendaraannya sendiri. Sebuah sepeda motor yangbaru beberapa hari lalu ia beli dengan gaji pertamanya sebagai seorang ilustrator di sebuah perusahaan besar yang ternama. Ia sendiri tidak menyangka bagaimana bisa ia terdampar dalam dunia yang berisi gambaran ilustrasi itu—mengingat ia dulu bercita-cita menjadi pelatih rugby yang jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari di Indonesia.

SMA ini juga ikut menyumbangkan berbagai kenangan indah padanya. Persahabatan, permusuhan, mimpi, harapan bahkan juga dengan apa yang orang katakan dengan cinta monyet. Haha, ia bisa mendengar suara tawa menggema halus dalam hatinya. Rasanya jika ia dapat mengorek lebih jauh, ia akan merasa sangat senang.

Di tempat ini ia mulai mengenal rugby— yang meskipun tidak menjadi pekerjaannya tetapi tetap menjadi olahraga favorit yang selalu ia lakukan tiap ada kesempatan— saat ia tidak sengaja bertemu dengan manusia-manusia ‘seperangkat alat obat’ itu. Ia juga mulai mengenal seni menggambar dari teman-teman ‘terdamparnya’ yang mayoritas dari mereka begitu tergila-gila dengan anime dan manga, lalu ia pun terbawa arus begitusaja.

Dan ia ingat kala itu, dari sekian banyak orang yang pernah ia ajari menggambar, ada seorang gadis berkacamata yang berkata jika ia tidak bisa menggambar, ia hanya bisa meniru.

Ah, ya gadis itu.

Salah satu hal yang bermula dari kata biasa. Berlanjut dengan penasaran. Dan berakhir dengan yang terlewatkan. Lalu terlupakan.

Harusnya, jika saja, ia dulu berani untuk mengungkapkan dan bukannya memilih gadis yang bukan ‘asanya’... —

Angin kencang itu bertiup menyapanya. Seolah angin itu menyuruhnya untuk berhenti menyalahkan dirinya sendiri dan segera masuk ke gedung sekolah itu.

Ia tahu ia tak akan bisa mengubah masa lalu. Tapi setidaknya ia ingin, Tuhan bersedia memberinya kesempatan kedua untuk mengatakannya.

Ia tersenyum kecil. Amin, doanya dalam hati. Ia baru saja akan melangkahkan kakinya saat ia melihat sepasang sepatu pantofel berhenti tepat di depannya. Ia mendongak, menatap seorang laki-laki yang lebih tinggi beberapa senti darinya. Laki-laki itu tersenyum kecil sebelum melepas kaca mata hitamnya.

“Sena?”

Dan lelaki yang dipanggil Sena itu hanya mengerutkan alisnya, bingung.

.......
SNAD
.......
Naya dan Adel berjalan bersisihan memasuki aula SMA mereka yang kini berubah menjadi dua kali lebih besar. Aula itu dihiasi oleh pita-pita dan ornamen dekorasi dengan warna emas dan perak yang menunjukkan tema dari acara reuni itu sendiri— Our Golden Years. Ada banyak orang yang sudah memenuhi aula itu— apalagi mengingat acara kali ini adalah reunian 3 angkatan kelulusan, yaitu para lulusan dari tahun 2012, 2013 dan 2014. Tak sedikit juga mereka melihat beberapa anak kecil berlarian disepanjang perjalanan kemari. Banyak sekali wajah-wajah dewasa yang sedari tadi berhilir mudik— yang mana beberapa diantaranya mungkin adalah teman mereka.

Mereka bisa melihat beberapa orang saling berbicara akrab dan tampak saling tertawa— mengingat masa lalu. Bahkan meskipun mereka tak mengerti apa yang orang-orang lain itu bicarakan, mereka merasa bahagia saat merasakan ada euforia yang melingkupi ruangan ini. Kerinduan dan kebahagiaan yang orang-orang disini rasakan saat bertemu dengan teman-teman lama mereka dari belasan tahun lalu. Berbagai pengalaman dan kenangan yang bertumpuk—saling bertumpang tindih untuk segera diceritakan dan diingat kembali. Mengukuhkan apa yang mereka sebut dengan ingatan masa SMA paling indah.

Kedua wanita dewasa itu tersenyum sama lain. Lalu tanpa alasan mulai ber-tos ria a la mereka.

Tanpa sadar kaki mereka sedari tadi melangkah ke bagian mejapenuh es krim. Naya dan Adel yang memang penggemar berat es krim tak mau melewatkan kesempatan emas seperti ini. Setelah keduanya mengambil es krim cokelat dan duduk berdampingan di kursi yang telah disediakan, mereka mulai menyendok es krim itu dengan semangat. Tapi tak lupa mereka menengok kesekeliling— siapa tahu, mereka akan mengenali seseorang yang dulunya adalah teman mereka dan melepas rindu.

“Adelia?”

“Kanaya?”

Dan untuk pertama kalinya, setelah belasan tahun sudah berlalu, Adel dan Naya merasa mereka seakan tersedot kembali ke masa dimana mereka masih berumur 15 tahun.

.......
SNAD
.......
Ramadhan Delon tak pernah menyangka jika sahabatnya saat SMA yang sudah belasan tahun tak ia temui— Senatya Adam, penampilannya tak berubah sama sekali sejak terakhir kali mereka bertemu. Mungkin hanya postur badannya yang berubah, lebih tinggi dan lebih terlihat maskulin. Selain itu tak ada yang berubah. Wajah, dandanan, semuanya bahkan ceringannnya pun masih sama.

Di acara yang cukup resmi seperti ini, Sena memakai kaos oblong berwarna putih yang ia balut dengan kemeja pendek biru tua kotak-kotak, sebuah jeans belel dan sepasang sepatu Convers khas anak muda jaman sekarang. Jangan lupakan tas hitam yang ia selempangkan di bahunya. Daripada disebut sebagai salah satu penerima undangan reuni, ia terlihat lebih cocok dianggap sebagai anak muda yang akan hang out ke mall atau ke tempat tongkrongan lainnya.

Berbanding terbalik dengan penampilan Delon sendiri, ironisnya. Lelaki itu memakai sebuah kemeja putih yang cukup tipis dengan jas biru tua formal keluaran Armani yang ia selampirkan di bahunya, sebuah kacamata hitam yang ia sematkan di sakunya, sepasang celana kain dan sepasang sepatu pantofel yang hitam mengkilat. Penampilannya benar-benar terlihat seperti bussinessman— yang memang begitulah adanya.

Ia memutuskan untuk melepas impiannya menjadi seorang pianis saat ayahnya koma selama beberapa tahun karena sebuah kecelakaan. Ketika itu, ia baru saja lulus dari kuliah dan dengan berbekal nyali nekat serta pengetahuan yang minim, mulai mengambil alih perusahaan yang dirintis ayahnya dari nol itu. Sekalipun sekarang ayahnya telah sembuh, ia tetap memilih untuk berjalan di arah yang sama dengan ayahnya dan mengesampingkan piano hanya sebagai hobi semata. Memang terkadang apa yang kita cita-citakan bukanlah realita pekerjaan yang akan kita jalani nantinya.

Berbanding lurus dengan itu, ia juga sempat mengalami asmara yang cukup rumit saat ia berada di bangku kuliah. Hubungannya dengan Dinda mulai terombang-ambing. Universitas yang berbeda membuat Dinda mulai berlaku protektif padanya dan seolah membatasi ruang geraknya. Merasa jenuh dan tak tahan lagi akhirnya mereka pun berpisah— walaupun selama setahun penuh Dinda masih tak mau melepaskannya dan terkadang ‘menerornya’, kini hal itu tak pernah terjadi lagi. Bahkan kini mereka tak pernah bertemu lagi.

Mengingat Dinda, membuatnya juga teringat dengan seorang gadis dengan pipi tembem. Gadis dengan mata sipit dan gigi kelincinya. Gadis yang selalu ia goda dengan nada bicaranya yang ketus dan cuek.

Gadis yang sempat membuatnya bimbang untuk sementara waktu.

Gadis yang membuatnya mengambil jalan terakhir untuk mencoba berpacaran dengan Dinda.

Gadis yang secara tidak langsung membuat keduanya tersakiti.
Tuhan, ia ingin bisa memutar waktu. Sekali ini saja, seumur hidup.

Memasuki ruang Aula yang suasananya cukup bising membuat Delon melupakan sebentar tetang pikirannya tadi. Hah, daripada memikirkan halyang tidak pasti lebih baik ia bersenang-senang dulu di sini. Lagi pula, ia tak pernah bertemu gadis itu lagi semenjak lulus dari SMA ini.  Jikalau memang berjodoh, Tuhan akan mempertemukan mereka di satu keadaan nantinya.

“Lon?”

Delon menoleh ke arah Sena yang nyengir lebar ke arahnya.“Makan es krim yuk, Lon! Panas nih, enak yang adem-adem.”

Lelaki yang lebih tinggi pun mengedarkan pandangannya. Ia bisa melihat meja panjang berisi bermacam-macam es krim di sisi pojok ruangan. “Hmm, boleh. Tuh di pojokan, Sen.”

Bukannya tidak peka, kedua lelaki itu bisa merasakan beberapa pasang mata memperhatikan mereka dengan intens sedari tadi, terutama dari para wanita. Tak perlu diragukan lagi bagaimana bisa, mengingat keduanya merupakan lelaki dengan paras tampan dan tampilan yang menarik. Delon dengan gaya eksekutif mudanya— ciri-ciri cowok mapan masa kini dan Sena dengan gaya santai nan apa adanya miliknya.

Mengabaikan tatapan-tatapan itu, mereka segera menuju ke meja es krim dan akan menyendokkan beberapa scoopes krim ke gelas yang telah mereka ambil— sebelum mata Delon ke arah dua figur wanita muda yang tampak antusias memakan es krim sambil sesekali bercanda ria. Meskipun sudah tahun berlalu, ia yakin jika gadis itu adalah gadis yang dulu.

Ia menyikut pelan tangan Sena, membuat sang empunyamenatapnya bingung dan berkata dengan nada tidak sabar, “Apa sih, Lon?”

Tanpa menjawab pertanyaan Sena, Delon menarik pelan tangan Sena dan menggiringnya ke arah kedua wanita yang sedang duduk tepat di seberang mereka. Sena yang mulai menyadari apa yang dimaksud Delon, membulatkan matanya kaget. Ia membuka dan menutup mulutnya dengan cepat— mirip seperti ikan yang sulit bernafas ketika ia terdampar di daratan.

Delon hanya mengangguk singkat. Dan itu cukup bagi Sena untuk mengerti.

Menguatkan hatinya, mereka berdua pun siap membuka lembaran lama yang kini telah terpampang nyata di hadapan mereka.

“Adelia?”

“Kanaya?”

Rasanya sangat aneh, ketika mereka harus menyebut nama kedua gadis— yang kini menjadi wanita itu dengan sapaan formal seperti pertama kali mereka bertemu belasan tahun lalu.

.......
SNAD
.......
Adelia Nugraha mengalami banyak perubahan dalam hidupnyabelasan tahun belakangan ini. Dan hampir semuanya melibatkan sahabatnya, Kanaya Akbar. Mulai dari segi pendidikan, finansial, karir hingga asmara.

Beasiswa ke Jepang, bertemu dengan orang-orang baru dan kebiasaan yang baru pula. Apalagi disana mereka dituntut untuk hidup mandiri tanpa mengandalkan orang tua, tidak seperti di Indonesia. Adel masih sangat bagaimana Naya bisa menghancurkan dapur dan hampir membuat apartemen mereka kebakaran saat pertama kali memasak— seumur hidupnya. Gaya hidup yang berbeda, terutama gaya pergaulan yang sempat membuat mereka kaget pada beberapa minggu pertama.

Finansialnya pun tak jauh berbeda. Semenjak ikut dalam proyek patungan untuk membangun restoran kecil bersama Ryouta— sahabatnya dan Naya di Jepang, ia mulai mengumpulkan uangnya sendiri. Ia memang sudah mempunyai tabungan semenjak ia duduk di bangku SMP, hanya saja kali ini ia menambahi isi tabungannya dengan tabungan valuta asing. Tak disangka, bisnis restoran homemade yang sangat sesuai dengan image anak muda Jepang itu, sukses besar. Ia bahkan meringis kecil saat mengingat ia dan Naya sempat memakai kostum maid di pembukaan satu bulan restoran— yang anehnya malah menarik banyak pembeli.

Ia sendiri jika tabungannya itu bisa membuatnya memberangkatkan haji kedua orang tuanya bersama dirinya sendiri. Dan sisanya,sedang ia tabung untuk mobil dan rumah sendiri. Tidak seperti Naya yang rupanya diam-diam— dan bahkan tak terlihat— rajin menabung hingga bisa membeli mobilnya sendiri beberapa bulan lalu.

Lulus kuliah— dan setelah masa beasiswa mereka habis, ia dan Naya kembali ke Indonesia dengan tujuan karir yang berbeda. Ia dulu sempat berpikir untuk mendalami dunia seni gambar realistis tapi ternyata Naya yang tanpa sepengetahuannya telah mengirimkan draft novelnya ke sebuah perusahaan percetakan, membuat Adel ditawari pekerjaansebagai penulis novel disana. Walaupun juah dari tujuan yang sebernarnya, ia tidak merasa kecewa. Justru, ia berterima kasih pada sahabatnya. Karena setidaknya, menggambar terkadang membuatnya teringat akan sosok itu.

Berbeda dengan Naya yang memang sudah mempunyai prospek masa depan. Gadis itu lebih memilih untuk tak melanjutkan hobi musiknya. Karena sama sepertinya, musik mungkin akan mengingatkan Naya pada seseorang yang sangat ingin— dan harus dilupakan.

Rupanya usaha restorannya di Jepang bersama Ryouta dan Naya membuatnya bertemu seseorang yang ‘baru’. Souyojima Shin, seorang lelaki bertubuh tinggi tegap yang ternyata adalah seorang atlit amefuto(*) nasional Jepang. Lelaki yang merupakan teman lama Ryouta sejak SMP itu mulanya bersikap biasa terhadap mereka— meskipun dia dan Naya sering terlihat canggung karena sifat mereka yang bertolak belakang, Naya dengan keluwesan bicaranya serta Shin yang pendiam dan irit bicara.

Keduanya sebenarnya terlibat dalam hubungan yang biasa saja dan statis, tapi entah kenapa Shin tiba-tiba mengajaknya untuk mendalami hubungan yang lebih mengarah ke romatisme. Ia ingat saat itu ia masih terbelenggu dengan sang ‘senior rugby’, namun ia juga berpikir jika ini sudah waktunya ia untuk memulai hal yang baru. Dan ternyata, hubungan mereka pun sudah berlanjut dan langgeng hingga sekarang. Bahkan ia sering digoda Naya kapan ia dan Shin akan menikah, dimana ia pun juga balik menggoda Naya tentang hubungan gadis bepipi tembem itu dengan Ryouta.

Sebenarnya, ia sedikit berharap ia bisa bertemu dengan remaja lelaki itu— atau yang kini yang telah berubah menjadi seorang lelaki dewasa— di acara reuni ini. Bukannya apa-apa, ia hanya ingin melihat sejauh mana rasa untuk lelaki itu telah hilang. Adel juga sempat menceritakan masa lalunya pada Shin dan lelaki itu bahkan berjanji akan membuatnya melupakan senior SMA-nya itu dan membuatnya hanya mencintai Shin. Sungguh, Adel merasa ia adalah gadis yang paling beruntung didunia.

Ia melirik Naya yang ada disebelahnya. Wanita itu tengah mengaduk-aduk es krim cokelat, vanila dan stroberinya menjadi satu. Haha,kebiasaan yang satu itu sepertinya tidak pernah hilang. Naya bilang rasanya sangat enak tapi saat ia sendiri mencobanya, ia hanya bisa menemukan rasa enek.

Ia baru saja akan menggoda sahabatnya itu ketika ia mendengar dua suara yang rasanya tidak asing lagi— meskipun kedengarannya ada yang berubah.

“Adelia?”

“Kanaya?”

Adelia Nugraha memang pernah berkata bahwa ia tidak akan pernah ingin dikalahkan oleh perasaan apapun— terutama rasa takut. Namun kini, ribuan kupu-kupu yang sama seperti belasan tahun lalu bergejolak keras dalam dadanya saat mata hitam bening itu bertatapan dengannya.

.......
SNAD
.......
Ini bukan sinetron tentu saja. Tidak ada yang namanya slow motion atau apapun itu. Tapi keempat figur seolah membeku satu sama lain.

Naya yang seolah tersadar dari transnya, memiringkan kepalanya bingung. Ia tersenyum kecil belum menjawab, “Iya, itu kami. Maaf, kalian siapa ya?”. Diam-diam, ia menyikut pelan siku Adel, membuat wanita itu tersenyum pada kedua lelaki dihadapannya— yang terlihat sedikit dipaksakan.

Lelaki yang lebih tinggi dan memakai kemeja putih dengan jas yang ia sampirkan di bahunya itu menggaruk tengkuk lehernya yang sepertinya tidak gatal. “Err, aku Delon. Seniormu di klub musik, Kanaya.”

Baik Naya maupun Adel yang telah terlatih belasan tahun untuk menjadi profesional (*), membuat keduanya dengan mudah menampilkan ekspresi biasa. Ini seolah semacam pertandingan drama, dimana siapa yang bisa membuat lawannya masuk ke alur ceritanya, akan menjadi pemenangnya. Dan jelas Naya serta Adel lebih memilih menjadi pemenang.

“Oh.” Naya tersenyum hingga kedua matanya menyipit. “KakDelon yang cuek itu ya? Haha. Iya, aku inget kok.”

Delon mengambil tempat duduk di seberang Naya di meja kecil yang berisi— kebetulan— 4 kursi itu. Sena pun mengikutinya dalam diam. Sesekali ia melirik ke arah Adel yang menatap ujung sepatunya dibawah meja seolah benda itu adalah benda terindah di dunia.

“Aku,” Sena merasa suaranya terasa berat saat ia berusaha memulai obrolan itu. Konyol, rasanya. “Aku Senatya— yang dulu biasanya dipanggil Sena. Yang...dulu sempet ngajarin kamu gambar non realistis. Inget gak, Adelia?”

Adel menarik kepalanya— menatap lurus ke arah Sena. “Ya. Aku inget kok. Apa kabar kak?”

“Baik. Kamu?”

“Baik, juga.”

“Duh kok ngobrolnya pake nama panjang sih ini?” celetukNaya.

“Kita kan baru ketemu, Kanaya. Ya, kalo langsung SKSD gimana gitu.”

“Ya itu kan gunanya reuni. Supaya inget sama masa lalu.”

“Dasar bawel, gak berubah banget ya.”

“Ya ampun, kak Delon masih aja nyebelin, ya. Masih mending kak Sena, deh!”

Sena pun nyengir lebar.

Senyumnya masih sama. Cengiran itu. Rambut itubahkan gigiitu. Semuanya masih sama. Tapi tetap saja rasanya masih sakit disini.

“Gimana kabarnya kak Dinda, kak?”

Dan suasana yang hening itu terpecahkan dengan satu pertanyaan singkat dari Naya. Tak perlu untuk jadi orang jenius untuk tau pada siapa pertanyaan itu wanita tujukan.

“Kenapa?”

Naya mengangkat alisnya, ikut bingung. “Ya kan aku terakhir denger, kalian pacaran. Aku tanya aja, kak. Kok gak bareng bedua kayak biasanya? Hehe.”

Kadang Adel berpikir Naya pantas mendapat penghargaan akan aktingnya itu— mengingat ia dan Naya pernah menjalani masa-masa kelam penuh airmata. Pengalaman patah hati pertama yang menyedihkan.

“Aku udah putus kok, pertengahan kuliah.”

Jeda sebentar, “Oh.” Naya menggangguk mengerti.

Entah rasanya aku harus lega atau bagaimana.

“Kalo kak Sena,” Naya mengalihkan pandangannya ke arah Sena—yang sepertinya sedari tadi tak bisa menghilangkan seutas senyum simpul dibibirnya. “Gimana sama kak Abel?”

Sena yang sudah bisa menebak munculnya pertanyaan itu, tetap mempertahankan senyumnya. “Udah putus juga kok, sama kayak Delon, mungkin dipertengahan kuliah dulu.”

Tuhan, kenapa rasanya masih lega? Kenapa harus begini? Del, inget Shin. Shin. Shin.

“Wah, jomblo semua dong.” Naya terkikik kecil sementara Adel hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum.

“Adelia....juga jomblo?”

Mata hitam bening Sena menatap lurus ke arah mata hitam pekat Adel. Wanita itu memang bukan spesialis pembaca gerak tubuh, tapi ia setidaknya mengerti sedikit. Hanya saja, ia tak mau berharap dan terjerumus lebih dalam lagi.

Baru saja Adel akan menjawab, Naya telah mendahuluinya.“Enggak lah kak, rencananya malah pacarnya yang di Jepang bulan ini bakal ke Indonesia buat ngelamar dia. Hihi, romantis kan ya?”

Sena hanya diam— bahkan hanya untuk mengucapkan selamat, ia tak yakin ia cukup kuat. Sepertinya Tuhan tak mau mengabulkan doanya tadi pagi.

Delon membeku. Ia dan Sena memang tak pernah bercerita satu sama lain tentang perasaan mereka pada dua gadis ini. Tapi segala sesuatu yang telah terjadi sampai sekarang membuatnya yakin bagaimana perasaan mereka berdua sebenarnya.

Ada banyak kemungkinan yang bisa terjadi, pikir Delon. Dan tak ada salahnya untuk mengambil resiko— dan mendapatkan kembali apa yang dulunya tertunda.

“Kalo Naya juga udah punya pacar? Haha tapi mana mungkin ya—”. Delon menyeringai jahil. Meskipun begitu, sungguh, Delon merutuki kebiasanya untuk berkata ketus jika ia sedang gugup. Rasanya ia ingin menyumpahi dirinya sendiri dan berusaha untuk berhenti, tapi ia tahu ia tak bisa. Lanjutnya, masih tetap mempertahankan seringainya, ”— kamu kan anaknyanyebelin dan rada—“

“Enggak kok.” kata Naya tegas, ia menatap lurus ke arah Delon. “Aku udah punya pacar, kak.”

Adel bahkan tahu itu hanyalah bualan belaka. Namun ia juga tahu, ia tak pantas untuk mengatakan yang sebenarnya.

Dan sisi jahat Naya sedang mengadakan pesta melihat seringai Delon luntur.

Ia tahu saat ini akan tiba, saat dimana pembalasan dendam akan terasa manis dan pahit dalam satu waktu yang bersamaan.

Ia tahu, dan ia siap menerima konsekuensinya.
 
The End.
(*) Keterangan:
1. Amefuto: AmericanFootball— atau dalam Jepang disebutkan dengan American Futoboru. Penjelasan lebih lanjut bisa didapatkan di google.
2. Profesional: Ahli; spesifikasi kata ini akan dijelaskanjika saya berkesempatan untuk membuat SNAD series lainnya.

......

Hanya sebuah cerpen pendek dengan tokoh utama Sena, Naya, Adel dan Delon atau yang bisa disingkat SNAD. Dan projectnya, aku mau bikin beberapa series lagi yang termasuk "SNAD Series" ; )

Rabu, 09 Januari 2013

Batik Dibalik Akulturasi

0 komentar
Hanya sebuah cerpen yang dibuat karena perintah diknas. Awalnya pas Ibu nyuruh buat cepet bikin, aku bilang entar aja soalnya aku biasanya sekali bikin langsung jadi. Dan pas kurang sehari, aku kelabakan. Parah -_-

Tema: Cintah Tanah Air

“Jangan lupa, bulan besok ada lomba pameran karya. Masing-masing kelas wajib mendirikan minimal 2 stand yang akan menjual barang-barang warisan budaya Indonesia. Dan tentu saja barang yang dijual tidak boleh ada yang sama dengan stand kelas lain. Oke sekian, sampai bertemu lagi di jam saya berikutnya.”

Dengan itu, Pak Budi,  guru fisika yang terkenal dengan cara mengajarnya: laki-laki dan perempuan tidak boleh duduk sebangku— segera meninggalkan ruang kelas X-E yang mendadak langsung ramai seperti pasar.

Dan hal yang sedang menjadi topik pembicaraan adalah pameran budaya yang akan diadakan di SMA mereka. Bukannya apa-apa, tapi pameran karya dalam pekan budaya yang di sekolah mereka akan selalu menjadi event paling ‘bergengsi’ terutama bagi kalangan anak muda di wilayah Surabaya dan sekitarnya, apalagi mengingat pameran ini terbuka untuk umum.

Dengan harga tiket masuk yang berkisar Rp 10.000,00— untuk tahun lalu, tentu harga tersebut tidaklah terlalu mahal. Bahkan jika ada kenaikan harga, paling maksimal adalah Rp 15.000,00. Tapi tergantung juga jika di tahun ini ada banyak sponsor yang ikut bergabung.

Diperkirakan pula— terutama oleh siswa-sisiwi SMAN 10, jika pekan budaya tahun ini akan lebih meriah dari tahun lalu.

Seperti saat ini, siswa-siswi di kelas X-E sedang sibuk membicarakan pekan budaya, terkecuali satu orang, sayangnya.

“Naya?”

Gadis yang sedari tadi berpangku tangan itu tersadar dari lamunannya ketika merasakan sebuah tepukan ringan di bahunya. Ia menoleh dan mendapati teman sebangkunya, Adel, menatapnya heran. “Ada apa? Kok kelihatannya kamu nggak semangat?”

Naya menghela napas pelan. “Kelihatan banget ya?”

“Kenapa memangnya?”

“Sebenarnya itu—”

“Nay, kamu nanti jadi desainer utama stand fashion kita ya!” Tiba-tiba terdengar suara Debra, dari bangku belakang.

“Apa?!” jawab Naya cepat. Sungguh, ia tak ingin terlibat dalam acara kali ini, apalagi menjadi desainer utamanya.

“Iya, Nay. Kamu kan suka desain baju gitu, jadi nanti kamu desain batik biar kelihatan lebih trendy atau gimana lah sesuai ide kamu.” Ahmad atau yang biasa dipanggil Mamat— ketua kelas X-E ikut menimpali. Bahkan hampir seluruh anak X-E mengangguk menyetujui.

Naya menggeleng lesu. Ia menumpukkan tangannya di depan dada dan berkata, “Tapi aku enggak mau.”

Adel yang sedari tadi diam mulai angkat bicara, “Nay, dari kita semua, hanya kamu yang paling ngerti soal desain baju. Intinya kamu itu satu-satunya harapan kelas kita supaya bisa jadi juara pertama lomba pameran, Nay.”

Seketika Naya pun terdiam. Begitu banyak hal yang ingin ia utarakan untuk menyanggah perkataan Adel tapi entah kenapa lidahnya terasa kelu. Seolah ada yang menahannya untuk itu.

“Jadi?” Kali ini suara Mamat terdengar lagi, ia mencoba memastikan.

Dan Naya hanya bisa mengangguk tak rela.

...

Ada banyak hal yang Naya suka di dunia ini. Salah satunya adalah dunia desain. Ia begitu jatuh cinta dengan dunia itu semenjak dikenalkan oleh tantenya yang juga seorang desainer ternama pada saat umurnya baru 9 tahun. Baginya, mendesain baju bukan hanya sekedar merancang bentuk dan model, membuat atau memberikan aksesoris tambahan. Ini tentang seni.

Tentang bagaimana sebuah baju bisa mempunyai nilai seni yang khas. Dan bagaimana pula baju bisa membuat pemakainya merasa nyaman, bukan hanya tentang harga, bentuk dan model. Sekilas memang terasa rumit, tapi itulah pengaplikasian kata ‘desain’ bagi seorang Kanaya Akbar.

Sayangnya, untuk kali ini, Naya merasa sangat berat hati untuk mendesain baju yang nanti akan dipamerkan.

Ia tidak terlalu suka dengan baju-baju yang berbau tradisional. Entah kenapa ia merasa jika sesuatu yang berbau tradisional adalah hal yang tabu untuk diubah karena merupakan warisan nenek moyang. Tidak, ia bukan tipe orang yang punya pemikiran akan terjadi hal-hal buruk (yang berbau spritual) dari nenek moyang (di alam lain) jika ia merubah karya mereka.


Oh, benarkah?

Tidak. Alasan sebenarnya adalah karena Naya telah terbiasa menggunakan produk impor. Ia lebih suka melihat katalog baju-baju keluaran brand-brand ternama luar negeri seperti Channel, Guess, Abbey Dawn, Bershka atau Abercrombie. Baginya baju-baju produk impor bisa dipastikan kuaitasnya dibanding baju-baju produk dalam negeri yang ia nilai terlalu meniru atau istilah jaman sekarang adalah ‘kw’ (kualitas) super (yang bisa diartikan kebalikan dari kata ‘kualitas super’ itu sendiri, yaitu kualitas yang rendah). Hal itulah yang membuat Naya lebih cenderung memilih baju-baju impor dan branded.

Dan sekarang ia dibebani tugas mendesain baju yang mempunyai unsur budaya Indonesia. Sungguh, ia tak tahu harus bagaimana cara menyikapi ini.

Ia sudah mencoba meminta saran ke beberapa teman yang mempunyai hobi sama dengannya, tapi tetap saja hasilnya nihil. Terang saja, kebanyakan temannya juga tidak terlalu dengan baju-baju dalam negeri apalagi yang berbau tradisional.
Jika ia memutuskan untuk mundur menjadi desainer utama bagi kelasnya, rasanya sudah terlambat. Lagipula, jujur saja ia tak ingin mengecewakan teman-temannya yang sudah menaruh harapan besar padanya. Tapi apa yang harus ia lakukan?

Ah ya, bagaimana ia bisa lupa dengan tantenya sendiri?

...

Naya mengetuk pintu rumah tante Tika yang hanya berbeda beberapa blok dari rumahnya.

“Permisi? Tante ini Naya!”

Nihil. Tak ada jawaban apapun.

Rumah mungil itu terlihat indah dengan taman kecil di halaman depannya. Bahkan ada kolam ikan kecil lengkap dengan air terjun imitasi di sisi kanan taman.

Tantenya juga sangat suka menjaga kebersihan. Jadi meskipun tantenya harus berpergian untuk urusan pekerjaan dan meninggalkan rumahnya sampai beberapa bulan sekalipun, rumahnya akan tetap bersih karena dia memang menyewa petugas kebersihan sendiri.

Naya pribadi sangat mengagumi tantenya yang berumur 28 tahun itu. Terlepas dari kenyataan bahwa tantenya adalah seorang desainer ternama, ia juga mengagumi tantenya sebagai pribadi yang pantang menyerah, pekerja keras dan penuh akan ide. Bisa dibilang, tante Tika adalah idola wanita keduanya setelah sang ibu.

“Naya?”

Tersadar dari lamunannya, Naya segera menoleh ke asal suara. Ternyata sang tante malah ada di depan pagar rumahnya dan masih berada di atas sepeda motornya dengan helm yang masih terpasang.

Pantas saja dari tadi tidak ada yang menjawab salamku. Tante sendiri saja baru pulang, batinnya.

“Err, aku mau minta saran nih, tante.” Naya meringis kecil.

“Ada apa memangnya?”

“Ada masalah yang rumit banget, tante. Bantu aku ya.”

Sang tante mengelus dagunya sejenak, berpikir. “Oke, tapi masuk dulu yuk. Gak enak ngobrol di luar begini.” balas tante Tika sebelum melepas helmnya dan memulai memakirkan motornya ke garasi.

...

“Jadi, masalah seperti itu yang kamu bilang rumit?!” tanya Tante Tika. Nada tak percaya terdengar jelas dari ucapannya.

Sedang Naya hanya bisa mengangguk lesu mendengar pertanyaan tantenya yang malah terkesan meremehkan masalahnya.

Itulah reaksi sang tante saat Naya baru saja selesai menceritakan masalah yang dianggapnya rumit tersebut. Mulanya Naya kira tantenya akan merasa kasihan dan segera memberinya saran agar bisa mengatasi masalah itu. Namun, sepertinya tidak begitu.

“HAHAHA!”

Tak lama kemudian, tawa tante Tika membahana ke seluruh ruangan.

Naya segera memicingkan matanya kesal begitu mendengar tawa nyaring dari tantenya. 
“Tante, ini gak lucu tau!”

Sementara sang tante mencoba menghentikan tawanya. Dia memegangi perutnya yang terasa sedikit kaku karena tawanya sendiri. Karma, eh?

“Baiklah, maafkan tante ya.” Tante Tika meringis kecil sambil masih memegangi perutnya. “Tapi beneran, itu bukan masalah yang besar, Nay.”

Mendengar itu mata Naya langsung berbinar penuh keantusiasan. “Jadi tante bisa bantu aku kan?”

“Tentu.”

...

“Dan juara pertama untuk lomba pameran karya tahun ini adalah......kelas X-E!!!”
Sontak sorakan bahagia terdengar dari arah kanan aula dimana 3 stand milik kelas X-E berdiri. Mereka saling bersuka cita dan bahagia. Sorakan makin keras ketika Mamat sebagai ketua kelas X-E maju ke atas panggung untuk menerima hadiah berupa piala dan uang.

Terlihat sekali siswa-siswi X-E sangat bangga dengan kemenangan ini. Bahkan tak jarang tadi mereka saling berpelukan satu sama lain untuk meluapkan kegembiraan.
Seolah tak cukup dengan itu, mereka kembali dikagetkan oleh pengumuman yang dibacakan oleh kepala sekolah. “Kami umumkan pula jika baju-baju dari stand kelas X-E yang diberi nama ‘Batik and Metropolis’ akan dipamerkan dalam acara ‘Youth Life International 2012’ hasil kerja sama SMAN 10 Surabaya dengan London Youth Voice!”

Suara tepuk tangan pun tak luput terdengar. Baik dari siswa-siswi SMAN 10 maupun masyarakat yang menguncungi pameran karya itu.

“NAYA!”

Naya yang sedari tadi berdiri menjaga stand tiba-tiba mendapat banyak pelukan dari teman-temannya. Banyak dari mereka yang mengucapkan selamat karena berkat baju hasil desainnya lah kelas X-E bisa keluar sebagai pemenang pertama.
Sebenarnya Naya tidak melakukan hal-hal luar biasa pada desain bajunya.

Ia hanya ‘mencampur’ motif dan warna saja. Misalnya seperti karyanya ‘Batik and Metropolis’, ia memakai motif Mega Mendung dari batik khas daerah Cirebon dengan gradasi warna-warna pastel. Agak aneh kedengarannya memang, karena biasanya Mega Mendung identik dengan merah dan biru. Tidak hanya itu, ia juga menambahkan doodle untuk mengisi ruang-ruang kosong di daerah bagian bawah baju. Sedangkan model yang ia ambil adalah sebuah dress selutut dan setengah lengan.

Ia mulai menyadari, jika banyak sekali dari Indonesia yang bisa digali. Baik itu hanya model, motif, warna maupun inspirasi. Bahkan jika potensi karya dan kreativitas serta inovasi anak bangsa makin digali, bukan tidak mungkin suatu saat nantinya akan mucul brand-brand ternama baru yang mengusung tema Indonesian Metro Culture.

Naya sendiri juga bertekad, jika mulai saat ini ia akan terus membuat desain-desain baju dengan Indonesian Metro Culture supaya anak-anak muda Indonesia bahkan mancanegara tertarik dan ingin memilikinya. Ia juga akan mengajak teman-temannya untuk ikut dalam proyeknya ini.

Jika bukan kita sebagai anak bangsa yang akan melestarikan budaya ini, lalu siapa lagi?

...

Flashback

“Lalu caranya?”

“Akulturasi.”

“Apa?” Naya mengerutkan keningnya dan menatap sang tante tak percaya.

“Kamu nggak tahu akulturasi itu apa? Oke, tante jelaskan ya. Jadi—“

Naya menggeleng cepat. “Aku tahu, tante. Tapi maksudku, apa hubungannya?”

“Akulturasi adalah percampuran dua budaya yang berbeda yang menghasilkan sebuah budaya baru, kan? Nah disini kamu tinggal mencampurkan budaya-budaya itu menjadi sebuah terobosan baru.”

Sang keponakan segera memutar bola matanya. Ia jelas-jelas tahu tentang itu. “Dan sekarang pertanyaannya adalah budaya apa yang akan dicampurkan?”

“Budaya yang kamu sukai, Nay. Kamu suka Retro kan? Kenapa gak coba dulu dengan Retro dengan Parang?”

Naya menatap tantenya seolah-olah dia baru saja mengemukakan jika alien akan menginvasi bumi dalam waktu hitungan detik. “Gak cocok, tante!”

Tante Tika hanya mengedipkan satu matanya, “Belum dicoba kan?”

Naya terdiam. Ya, ia belum mencobanya jadi tidak seharusnya berkata jika itu tidak mungkin atau akan terasa aneh. Lagipula, sepertinya tidak buruk juga kedengarannya.

Ia pun tersenyum sangat lebar sampai matanya hanya menyisakan garis lurus saja. “Terima kasih.” ucapnya tulus.


....
Fin.