Warnings: Typos. OC.Semi-AU. Drama.
SNAD Series: Sweet Revenge
.
.
.
Naya
menjetikkan jarinya tak sabar di atas kemudi mobilnya. Macet kali ini
benar-benar menyebalkan. Hampir dua jam lamanya ia terjebak di jalanan
Ahmad Yani yang mana sudah sangat dekat jaraknya dengan SMA-nya. Ia
melirik kecil ke arah lampu merah— yang mana sama seperti namanya, masih
berwarna merah. Bahkan timer di lampu merah itu masih
menunjukkan angka ke 34 detik tapi begitu ia sadar, ia masih jauh dari
ujung perempatan. Mobil merah marunnya masih berada di daerah tengah
dari kerumunan kendaraan yang terjebak macet. Dan itu jelas membuatnya
masih harus menunggu beberapa saat lagi untuk bisa mengemudi secara
lancar.
Ia memutuskan untuk mengalihkan perhatiannya pada switch frekuensi radio, memutarnya secara random sambil mendengarkan lagu yang kiranya memiliki tempo beat— yang sayangnya sama sekali tak ia temukan. Rata-rata lagu yang diputar saat itu bertempo slow. Darn. Sepertinya hari ini memang bukan harinya. Tanpa sadar, pipinya sudah menggembung dengan sendirinya.
“Udah
lah, Nay. Sabar aja. Toh bentar lagi juga kita bebas dari macet ini.”
kata Adel duduk disebelahnya dengan santai sambil tetap fokus pada
tablet di genggamannya. Ia sesekali tersenyum melihat balasan e-mail yang dikirim oleh Shin— kekasihnyayang berada di Jepang.
Ya,
Jepang. Beberapa tahun lalu Adel dan Naya berhasil lolos seleksi
pertukaran pelajar ke Jepang dan tinggal bersama disana. Banyak sekali
hal yang telah terjadi, baik yang menyenangkan hingga yang menyedihkan.
Walau, apa pun yang terjadi, itu malah membuat persahabatan mereka lebih
erat.
Terutama selama di Jepang, Adel dan Naya berusaha
sekeras mungkin untuk melupakan dua kakak senior mereka kali itu. Sakit
rasanya, ketika tahu jika harapan yang selama ini diumbar kedua remaja
lelaki itu hanyalah sekedar janji kosong tanpa bukti— apalagi ketika
sebelum lulus, ternyata keduanya telah mempunyai kekasih yang tentunya
bukan diri Adel dan Nayasendiri.
Butuh perjuangan keras,
untuk bangkit dari keterpurukan itu. Mungkin tidak semendramatisir itu,
hanya saja, bagi dua orang gadis remaja berumur 16 tahun yang untuk
pertama kalinya merasa jatuh cinta— atau dalam rangka ini masih dihitung
sebagai rasa suka atau sayang— dan patah hati di saat pertamanya
mengalami hal itu, bukanlah pengalaman yang menyenangkan.
Untungnya,
mendapat beasiswa ke Jepang seakan mengajarkan mereka bahwa perpindahan
secara permanen itu perlu. Perpindahan hati— secara permanen, tanpa
membanding-bandingkan yang dulu dan sekarang serta berusaha keras untuk
tak menengok masa lalu.
Kini, mereka berdua telah
menjadi wanita karir yang sukses. Naya menjadi seorang translator—
penerjemah untuk beberapa bahasa, terutama Bahasa Inggris dan Bahasa
Jepang atau dengan pekerjaan sampingannya sebagai penulis. Lain lagi
dengan Adel yang memang fokus untuk menulis beberapa novel lepas atau
berseri serta terkadang ia menerjemahkan novel berbahasa Inggris dalam
Bahasa Indonesia.
Selain itu, keduanya juga berhasil
memberangkatkan haji kedua orang tuanya, sesuai dengan impian mereka
dulu. Bahkan ketika itu mereka bersama dalam satu rombongan, seolah-olah
memang begitulah seharusnya. Naya tersenyum, ia berjanji takkan
melupakan hari itu.
Berbeda dengan urusan hati, setelah
putus dari Dion sebelum lulus kala itu, sampai sekarang Naya masih ingin
sendiri. Meskipun ia memangdekat dengan beberapa lelaki seperti Didi,
Bernard, Yamamoto bahkan Eka, tapi tak satu pun dari mereka yang
benar-benar bisa membuatnya melupakan sosok itu. Tapi sepertinya, untuk
sekarang, Ryouta masih berhasil mempertahankan tempatnya tersendiri di
sisi Naya. Rencananya pula, Ryouta akan ke Indonesia bersama Shin akhir
bulan ini jika tak ada perubahan.
Suara klakson yang
bersahut-sahutan pertanda beberapa orang mulai tidak sabar menanti
kemacetan pun membuyarkan pikiran Naya yang sedari tadi melanglang
buana.
“Tapi tetep aja kan, Del, kita niatnya kan buat
dateng 2 jam lebih dulu dari waktu reunian, eh ini malah kita kena macet
disini, dan sebentar lagi itu, acaranya dimulai.”
“Naya-chan,
sabar ya, oke?” Adel menggerakkan dagunya ke arah lampu merah yang kini
mulai berwarna hijau. “Lampunya udah hijau tuh, Nay. Cepet sana!”
Mengangguk
sekilas, Naya segera mengemudikan mobilnya cepat. Ia sudah terbiasa
menjadi perfeksionis dari kecil dan apapun yang ia lakukan setidaknya
harus mendekati sempurna— bahkan sesuai dengan rencananya. Tak ada yang
bisa menghalangi kesempurnaan rencananya, sekalipun macet saat ini.
“Puas, Nay?”
Naya
tersenyum lebar saat melewati sebuah toko buku yang biasa ia kunjungi
bersama Adel saat mereka SMA dulu— setelah mereka melewati lampu merah
tadi. “Sangat.”
Adel hanya menggelengkan kepalanya, maklum.
.......
SNAD
.......
Lelaki
itu menatap bangunan sekolah yang sudah hampir belasan tahun ia
tinggalkan. Sekolah ini sudah banyak berubah. Bangunannya kini tampak
lebih mewah— mengingat sekarang sekolah ini telah menaikkan ‘derajatnya’
menjadi sekolah berstandar internasional. Ia juga mendengar dari
beberapa teman lamanya jika sekolah ini juga telah menerapkan metode
bilingual atau dua bahasa yang dipakai dalam kegiatan belajar mengajar
dan komunikasi antar warga sekolahnya sendiri.
Ia meringis
kecil. Merasa beruntung ia telah lulus jauh-jauh hari. Ia memang sedari
dulu tidak terlalu bersahabat dengan bahasa internasional yang satu
itu.
Mata hitam beningnya menoleh ke sekeliling. Ia
melihat begitu banyak orang, dengan berbagai raut wajah— dimana wajah
bahagia paling mendominasi, wajah-wajah yang cukup asing, macam-macam
gaya berpakaian hingga kendaraan yang mereka naiki.
Ia
mengamati kendaraannya sendiri. Sebuah sepeda motor yangbaru beberapa
hari lalu ia beli dengan gaji pertamanya sebagai seorang ilustrator di
sebuah perusahaan besar yang ternama. Ia sendiri tidak menyangka
bagaimana bisa ia terdampar dalam dunia yang berisi gambaran ilustrasi
itu—mengingat ia dulu bercita-cita menjadi pelatih rugby yang jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari di Indonesia.
SMA
ini juga ikut menyumbangkan berbagai kenangan indah padanya.
Persahabatan, permusuhan, mimpi, harapan bahkan juga dengan apa yang
orang katakan dengan cinta monyet. Haha, ia bisa mendengar suara tawa
menggema halus dalam hatinya. Rasanya jika ia dapat mengorek lebih jauh,
ia akan merasa sangat senang.
Di tempat ini ia mulai mengenal rugby—
yang meskipun tidak menjadi pekerjaannya tetapi tetap menjadi olahraga
favorit yang selalu ia lakukan tiap ada kesempatan— saat ia tidak sengaja bertemu
dengan manusia-manusia ‘seperangkat alat obat’ itu. Ia juga mulai
mengenal seni menggambar dari teman-teman ‘terdamparnya’ yang mayoritas
dari mereka begitu tergila-gila dengan anime dan manga, lalu ia pun terbawa arus begitusaja.
Dan
ia ingat kala itu, dari sekian banyak orang yang pernah ia ajari
menggambar, ada seorang gadis berkacamata yang berkata jika ia tidak
bisa menggambar, ia hanya bisa meniru.
Ah, ya gadis itu.
Salah satu hal yang bermula dari kata biasa. Berlanjut dengan penasaran. Dan berakhir dengan yang terlewatkan. Lalu terlupakan.
Harusnya, jika saja, ia dulu berani untuk mengungkapkan dan bukannya memilih gadis yang bukan ‘asanya’... —
Angin
kencang itu bertiup menyapanya. Seolah angin itu menyuruhnya untuk
berhenti menyalahkan dirinya sendiri dan segera masuk ke gedung sekolah
itu.
Ia tahu ia tak akan bisa mengubah masa lalu. Tapi
setidaknya ia ingin, Tuhan bersedia memberinya kesempatan kedua untuk
mengatakannya.
Ia tersenyum kecil. Amin, doanya
dalam hati. Ia baru saja akan melangkahkan kakinya saat ia melihat
sepasang sepatu pantofel berhenti tepat di depannya. Ia mendongak,
menatap seorang laki-laki yang lebih tinggi beberapa senti darinya.
Laki-laki itu tersenyum kecil sebelum melepas kaca mata hitamnya.
“Sena?”
Dan lelaki yang dipanggil Sena itu hanya mengerutkan alisnya, bingung.
.......
SNAD
.......
Naya
dan Adel berjalan bersisihan memasuki aula SMA mereka yang kini berubah
menjadi dua kali lebih besar. Aula itu dihiasi oleh pita-pita dan
ornamen dekorasi dengan warna emas dan perak yang menunjukkan tema dari
acara reuni itu sendiri— Our Golden Years. Ada banyak orang yang
sudah memenuhi aula itu— apalagi mengingat acara kali ini adalah reunian
3 angkatan kelulusan, yaitu para lulusan dari tahun 2012, 2013 dan
2014. Tak sedikit juga mereka melihat beberapa anak kecil berlarian
disepanjang perjalanan kemari. Banyak sekali wajah-wajah dewasa yang
sedari tadi berhilir mudik— yang mana beberapa diantaranya mungkin
adalah teman mereka.
Mereka bisa melihat beberapa orang
saling berbicara akrab dan tampak saling tertawa— mengingat masa lalu.
Bahkan meskipun mereka tak mengerti apa yang orang-orang lain itu
bicarakan, mereka merasa bahagia saat merasakan ada euforia yang
melingkupi ruangan ini. Kerinduan dan kebahagiaan yang orang-orang
disini rasakan saat bertemu dengan teman-teman lama mereka dari belasan
tahun lalu. Berbagai pengalaman dan kenangan yang bertumpuk—saling
bertumpang tindih untuk segera diceritakan dan diingat kembali.
Mengukuhkan apa yang mereka sebut dengan ingatan masa SMA paling indah.
Kedua wanita dewasa itu tersenyum sama lain. Lalu tanpa alasan mulai ber-tos ria a la mereka.
Tanpa
sadar kaki mereka sedari tadi melangkah ke bagian mejapenuh es krim.
Naya dan Adel yang memang penggemar berat es krim tak mau melewatkan
kesempatan emas seperti ini. Setelah keduanya mengambil es krim cokelat
dan duduk berdampingan di kursi yang telah disediakan, mereka mulai
menyendok es krim itu dengan semangat. Tapi tak lupa mereka menengok
kesekeliling— siapa tahu, mereka akan mengenali seseorang yang dulunya
adalah teman mereka dan melepas rindu.
“Adelia?”
“Kanaya?”
Dan
untuk pertama kalinya, setelah belasan tahun sudah berlalu, Adel dan
Naya merasa mereka seakan tersedot kembali ke masa dimana mereka masih
berumur 15 tahun.
.......
SNAD
.......
Ramadhan
Delon tak pernah menyangka jika sahabatnya saat SMA yang sudah belasan
tahun tak ia temui— Senatya Adam, penampilannya tak berubah sama sekali
sejak terakhir kali mereka bertemu. Mungkin hanya postur badannya yang
berubah, lebih tinggi dan lebih terlihat maskulin. Selain itu tak ada
yang berubah. Wajah, dandanan, semuanya bahkan ceringannnya pun masih
sama.
Di acara yang cukup resmi seperti ini, Sena memakai
kaos oblong berwarna putih yang ia balut dengan kemeja pendek biru tua
kotak-kotak, sebuah jeans belel dan sepasang sepatu Convers khas anak
muda jaman sekarang. Jangan lupakan tas hitam yang ia selempangkan di
bahunya. Daripada disebut sebagai salah satu penerima undangan reuni, ia
terlihat lebih cocok dianggap sebagai anak muda yang akan hang out ke mall atau ke tempat tongkrongan lainnya.
Berbanding
terbalik dengan penampilan Delon sendiri, ironisnya. Lelaki itu memakai
sebuah kemeja putih yang cukup tipis dengan jas biru tua formal
keluaran Armani yang ia selampirkan di bahunya, sebuah kacamata hitam
yang ia sematkan di sakunya, sepasang celana kain dan sepasang sepatu
pantofel yang hitam mengkilat. Penampilannya benar-benar terlihat
seperti bussinessman— yang memang begitulah adanya.
Ia
memutuskan untuk melepas impiannya menjadi seorang pianis saat ayahnya
koma selama beberapa tahun karena sebuah kecelakaan. Ketika itu, ia baru
saja lulus dari kuliah dan dengan berbekal nyali nekat serta
pengetahuan yang minim, mulai mengambil alih perusahaan yang dirintis
ayahnya dari nol itu. Sekalipun sekarang ayahnya telah sembuh, ia tetap
memilih untuk berjalan di arah yang sama dengan ayahnya dan
mengesampingkan piano hanya sebagai hobi semata. Memang terkadang apa
yang kita cita-citakan bukanlah realita pekerjaan yang akan kita jalani
nantinya.
Berbanding lurus dengan itu, ia juga sempat
mengalami asmara yang cukup rumit saat ia berada di bangku kuliah.
Hubungannya dengan Dinda mulai terombang-ambing. Universitas yang
berbeda membuat Dinda mulai berlaku protektif padanya dan seolah
membatasi ruang geraknya. Merasa jenuh dan tak tahan lagi akhirnya
mereka pun berpisah— walaupun selama setahun penuh Dinda masih tak mau
melepaskannya dan terkadang ‘menerornya’, kini hal itu tak pernah
terjadi lagi. Bahkan kini mereka tak pernah bertemu lagi.
Mengingat
Dinda, membuatnya juga teringat dengan seorang gadis dengan pipi
tembem. Gadis dengan mata sipit dan gigi kelincinya. Gadis yang selalu
ia goda dengan nada bicaranya yang ketus dan cuek.
Gadis yang sempat membuatnya bimbang untuk sementara waktu.
Gadis yang membuatnya mengambil jalan terakhir untuk mencoba berpacaran dengan Dinda.
Gadis yang secara tidak langsung membuat keduanya tersakiti.
Tuhan, ia ingin bisa memutar waktu. Sekali ini saja, seumur hidup.
Memasuki
ruang Aula yang suasananya cukup bising membuat Delon melupakan
sebentar tetang pikirannya tadi. Hah, daripada memikirkan halyang tidak
pasti lebih baik ia bersenang-senang dulu di sini. Lagi pula, ia tak
pernah bertemu gadis itu lagi semenjak lulus dari SMA ini. Jikalau
memang berjodoh, Tuhan akan mempertemukan mereka di satu keadaan
nantinya.
“Lon?”
Delon menoleh ke arah Sena yang nyengir lebar ke arahnya.“Makan es krim yuk, Lon! Panas nih, enak yang adem-adem.”
Lelaki
yang lebih tinggi pun mengedarkan pandangannya. Ia bisa melihat meja
panjang berisi bermacam-macam es krim di sisi pojok ruangan. “Hmm,
boleh. Tuh di pojokan, Sen.”
Bukannya tidak peka, kedua
lelaki itu bisa merasakan beberapa pasang mata memperhatikan mereka
dengan intens sedari tadi, terutama dari para wanita. Tak perlu
diragukan lagi bagaimana bisa, mengingat keduanya merupakan lelaki
dengan paras tampan dan tampilan yang menarik. Delon dengan gaya
eksekutif mudanya— ciri-ciri cowok mapan masa kini dan Sena dengan gaya
santai nan apa adanya miliknya.
Mengabaikan tatapan-tatapan itu, mereka segera menuju ke meja es krim dan akan menyendokkan beberapa scoopes
krim ke gelas yang telah mereka ambil— sebelum mata Delon ke arah dua
figur wanita muda yang tampak antusias memakan es krim sambil sesekali
bercanda ria. Meskipun sudah tahun berlalu, ia yakin jika gadis itu
adalah gadis yang dulu.
Ia menyikut pelan tangan Sena, membuat sang empunyamenatapnya bingung dan berkata dengan nada tidak sabar, “Apa sih, Lon?”
Tanpa
menjawab pertanyaan Sena, Delon menarik pelan tangan Sena dan
menggiringnya ke arah kedua wanita yang sedang duduk tepat di seberang
mereka. Sena yang mulai menyadari apa yang dimaksud Delon, membulatkan
matanya kaget. Ia membuka dan menutup mulutnya dengan cepat— mirip
seperti ikan yang sulit bernafas ketika ia terdampar di daratan.
Delon hanya mengangguk singkat. Dan itu cukup bagi Sena untuk mengerti.
Menguatkan hatinya, mereka berdua pun siap membuka lembaran lama yang kini telah terpampang nyata di hadapan mereka.
“Adelia?”
“Kanaya?”
Rasanya
sangat aneh, ketika mereka harus menyebut nama kedua gadis— yang kini
menjadi wanita itu dengan sapaan formal seperti pertama kali mereka
bertemu belasan tahun lalu.
.......
SNAD
.......
Adelia
Nugraha mengalami banyak perubahan dalam hidupnyabelasan tahun
belakangan ini. Dan hampir semuanya melibatkan sahabatnya, Kanaya Akbar.
Mulai dari segi pendidikan, finansial, karir hingga asmara.
Beasiswa
ke Jepang, bertemu dengan orang-orang baru dan kebiasaan yang baru
pula. Apalagi disana mereka dituntut untuk hidup mandiri tanpa
mengandalkan orang tua, tidak seperti di Indonesia. Adel masih sangat
bagaimana Naya bisa menghancurkan dapur dan hampir membuat apartemen
mereka kebakaran saat pertama kali memasak— seumur hidupnya. Gaya hidup
yang berbeda, terutama gaya pergaulan yang sempat membuat mereka kaget
pada beberapa minggu pertama.
Finansialnya pun tak jauh
berbeda. Semenjak ikut dalam proyek patungan untuk membangun restoran
kecil bersama Ryouta— sahabatnya dan Naya di Jepang, ia mulai
mengumpulkan uangnya sendiri. Ia memang sudah mempunyai tabungan
semenjak ia duduk di bangku SMP, hanya saja kali ini ia menambahi isi
tabungannya dengan tabungan valuta asing. Tak disangka, bisnis restoran homemade yang sangat sesuai dengan image anak muda Jepang itu, sukses besar. Ia bahkan meringis kecil saat mengingat ia dan Naya sempat memakai kostum maid di pembukaan satu bulan restoran— yang anehnya malah menarik banyak pembeli.
Ia
sendiri jika tabungannya itu bisa membuatnya memberangkatkan haji kedua
orang tuanya bersama dirinya sendiri. Dan sisanya,sedang ia tabung
untuk mobil dan rumah sendiri. Tidak seperti Naya yang rupanya
diam-diam— dan bahkan tak terlihat— rajin menabung hingga bisa membeli
mobilnya sendiri beberapa bulan lalu.
Lulus kuliah— dan
setelah masa beasiswa mereka habis, ia dan Naya kembali ke Indonesia
dengan tujuan karir yang berbeda. Ia dulu sempat berpikir untuk
mendalami dunia seni gambar realistis tapi ternyata Naya yang tanpa
sepengetahuannya telah mengirimkan draft novelnya ke sebuah
perusahaan percetakan, membuat Adel ditawari pekerjaansebagai penulis
novel disana. Walaupun juah dari tujuan yang sebernarnya, ia tidak
merasa kecewa. Justru, ia berterima kasih pada sahabatnya. Karena
setidaknya, menggambar terkadang membuatnya teringat akan sosok itu.
Berbeda
dengan Naya yang memang sudah mempunyai prospek masa depan. Gadis itu
lebih memilih untuk tak melanjutkan hobi musiknya. Karena sama
sepertinya, musik mungkin akan mengingatkan Naya pada seseorang yang
sangat ingin— dan harus dilupakan.
Rupanya usaha
restorannya di Jepang bersama Ryouta dan Naya membuatnya bertemu
seseorang yang ‘baru’. Souyojima Shin, seorang lelaki bertubuh tinggi
tegap yang ternyata adalah seorang atlit amefuto(*) nasional
Jepang. Lelaki yang merupakan teman lama Ryouta sejak SMP itu mulanya
bersikap biasa terhadap mereka— meskipun dia dan Naya sering terlihat
canggung karena sifat mereka yang bertolak belakang, Naya dengan
keluwesan bicaranya serta Shin yang pendiam dan irit bicara.
Keduanya
sebenarnya terlibat dalam hubungan yang biasa saja dan statis, tapi
entah kenapa Shin tiba-tiba mengajaknya untuk mendalami hubungan yang
lebih mengarah ke romatisme. Ia ingat saat itu ia masih terbelenggu
dengan sang ‘senior rugby’, namun ia juga berpikir jika ini sudah
waktunya ia untuk memulai hal yang baru. Dan ternyata, hubungan mereka
pun sudah berlanjut dan langgeng hingga sekarang. Bahkan ia sering
digoda Naya kapan ia dan Shin akan menikah, dimana ia pun juga balik
menggoda Naya tentang hubungan gadis bepipi tembem itu dengan Ryouta.
Sebenarnya, ia sedikit
berharap ia bisa bertemu dengan remaja lelaki itu— atau yang kini yang
telah berubah menjadi seorang lelaki dewasa— di acara reuni ini.
Bukannya apa-apa, ia hanya ingin melihat sejauh mana rasa untuk lelaki
itu telah hilang. Adel juga sempat menceritakan masa lalunya pada Shin
dan lelaki itu bahkan berjanji akan membuatnya melupakan senior SMA-nya
itu dan membuatnya hanya mencintai Shin. Sungguh, Adel merasa ia adalah
gadis yang paling beruntung didunia.
Ia melirik Naya yang
ada disebelahnya. Wanita itu tengah mengaduk-aduk es krim cokelat,
vanila dan stroberinya menjadi satu. Haha,kebiasaan yang satu itu
sepertinya tidak pernah hilang. Naya bilang rasanya sangat enak tapi
saat ia sendiri mencobanya, ia hanya bisa menemukan rasa enek.
Ia
baru saja akan menggoda sahabatnya itu ketika ia mendengar dua suara
yang rasanya tidak asing lagi— meskipun kedengarannya ada yang berubah.
“Adelia?”
“Kanaya?”
Adelia
Nugraha memang pernah berkata bahwa ia tidak akan pernah ingin
dikalahkan oleh perasaan apapun— terutama rasa takut. Namun kini, ribuan
kupu-kupu yang sama seperti belasan tahun lalu bergejolak keras dalam
dadanya saat mata hitam bening itu bertatapan dengannya.
.......
SNAD
.......
Ini bukan sinetron tentu saja. Tidak ada yang namanya slow motion atau apapun itu. Tapi keempat figur seolah membeku satu sama lain.
Naya
yang seolah tersadar dari transnya, memiringkan kepalanya bingung. Ia
tersenyum kecil belum menjawab, “Iya, itu kami. Maaf, kalian siapa ya?”.
Diam-diam, ia menyikut pelan siku Adel, membuat wanita itu tersenyum
pada kedua lelaki dihadapannya— yang terlihat sedikit dipaksakan.
Lelaki
yang lebih tinggi dan memakai kemeja putih dengan jas yang ia sampirkan
di bahunya itu menggaruk tengkuk lehernya yang sepertinya tidak gatal.
“Err, aku Delon. Seniormu di klub musik, Kanaya.”
Baik Naya maupun Adel yang telah terlatih belasan tahun untuk menjadi profesional
(*), membuat keduanya dengan mudah menampilkan ekspresi biasa. Ini
seolah semacam pertandingan drama, dimana siapa yang bisa membuat
lawannya masuk ke alur ceritanya, akan menjadi pemenangnya. Dan jelas
Naya serta Adel lebih memilih menjadi pemenang.
“Oh.” Naya tersenyum hingga kedua matanya menyipit. “KakDelon yang cuek itu ya? Haha. Iya, aku inget kok.”
Delon
mengambil tempat duduk di seberang Naya di meja kecil yang berisi—
kebetulan— 4 kursi itu. Sena pun mengikutinya dalam diam. Sesekali ia
melirik ke arah Adel yang menatap ujung sepatunya dibawah meja seolah
benda itu adalah benda terindah di dunia.
“Aku,” Sena
merasa suaranya terasa berat saat ia berusaha memulai obrolan itu.
Konyol, rasanya. “Aku Senatya— yang dulu biasanya dipanggil Sena.
Yang...dulu sempet ngajarin kamu gambar non realistis. Inget gak,
Adelia?”
Adel menarik kepalanya— menatap lurus ke arah Sena. “Ya. Aku inget kok. Apa kabar kak?”
“Baik. Kamu?”
“Baik, juga.”
“Duh kok ngobrolnya pake nama panjang sih ini?” celetukNaya.
“Kita kan baru ketemu, Kanaya. Ya, kalo langsung SKSD gimana gitu.”
“Ya itu kan gunanya reuni. Supaya inget sama masa lalu.”
“Dasar bawel, gak berubah banget ya.”
“Ya ampun, kak Delon masih aja nyebelin, ya. Masih mending kak Sena, deh!”
Sena pun nyengir lebar.
Senyumnya masih sama. Cengiran itu. Rambut itu— bahkan gigiitu. Semuanya masih sama. Tapi tetap saja rasanya masih sakit disini.
“Gimana kabarnya kak Dinda, kak?”
Dan
suasana yang hening itu terpecahkan dengan satu pertanyaan singkat dari
Naya. Tak perlu untuk jadi orang jenius untuk tau pada siapa pertanyaan
itu wanita tujukan.
“Kenapa?”
Naya
mengangkat alisnya, ikut bingung. “Ya kan aku terakhir denger, kalian
pacaran. Aku tanya aja, kak. Kok gak bareng bedua kayak biasanya? Hehe.”
Kadang
Adel berpikir Naya pantas mendapat penghargaan akan aktingnya itu—
mengingat ia dan Naya pernah menjalani masa-masa kelam penuh airmata.
Pengalaman patah hati pertama yang menyedihkan.
“Aku udah putus kok, pertengahan kuliah.”
Jeda sebentar, “Oh.” Naya menggangguk mengerti.
Entah rasanya aku harus lega atau bagaimana.
“Kalo
kak Sena,” Naya mengalihkan pandangannya ke arah Sena—yang sepertinya
sedari tadi tak bisa menghilangkan seutas senyum simpul dibibirnya.
“Gimana sama kak Abel?”
Sena yang sudah bisa menebak
munculnya pertanyaan itu, tetap mempertahankan senyumnya. “Udah putus
juga kok, sama kayak Delon, mungkin dipertengahan kuliah dulu.”
Tuhan, kenapa rasanya masih lega? Kenapa harus begini? Del, inget Shin. Shin. Shin.
“Wah, jomblo semua dong.” Naya terkikik kecil sementara Adel hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum.
“Adelia....juga jomblo?”
Mata
hitam bening Sena menatap lurus ke arah mata hitam pekat Adel. Wanita
itu memang bukan spesialis pembaca gerak tubuh, tapi ia setidaknya
mengerti sedikit. Hanya saja, ia tak mau berharap dan terjerumus lebih
dalam lagi.
Baru saja Adel akan menjawab, Naya telah
mendahuluinya.“Enggak lah kak, rencananya malah pacarnya yang di Jepang
bulan ini bakal ke Indonesia buat ngelamar dia. Hihi, romantis kan ya?”
Sena
hanya diam— bahkan hanya untuk mengucapkan selamat, ia tak yakin ia
cukup kuat. Sepertinya Tuhan tak mau mengabulkan doanya tadi pagi.
Delon
membeku. Ia dan Sena memang tak pernah bercerita satu sama lain tentang
perasaan mereka pada dua gadis ini. Tapi segala sesuatu yang telah
terjadi sampai sekarang membuatnya yakin bagaimana perasaan mereka
berdua sebenarnya.
Ada banyak kemungkinan yang bisa
terjadi, pikir Delon. Dan tak ada salahnya untuk mengambil resiko— dan
mendapatkan kembali apa yang dulunya tertunda.
“Kalo Naya
juga udah punya pacar? Haha tapi mana mungkin ya—”. Delon menyeringai
jahil. Meskipun begitu, sungguh, Delon merutuki kebiasanya untuk berkata
ketus jika ia sedang gugup. Rasanya ia ingin menyumpahi dirinya sendiri
dan berusaha untuk berhenti, tapi ia tahu ia tak bisa. Lanjutnya, masih
tetap mempertahankan seringainya, ”— kamu kan anaknyanyebelin dan
rada—“
“Enggak kok.” kata Naya tegas, ia menatap lurus ke arah Delon. “Aku udah punya pacar, kak.”
Adel bahkan tahu itu hanyalah bualan belaka. Namun ia juga tahu, ia tak pantas untuk mengatakan yang sebenarnya.
Dan sisi jahat Naya sedang mengadakan pesta melihat seringai Delon luntur.
Ia tahu saat ini akan tiba, saat dimana pembalasan dendam akan terasa manis dan pahit dalam satu waktu yang bersamaan.
Ia tahu, dan ia siap menerima konsekuensinya.
The End.
(*) Keterangan:
1. Amefuto: AmericanFootball— atau dalam Jepang disebutkan dengan American Futoboru. Penjelasan lebih lanjut bisa didapatkan di google.
2. Profesional: Ahli; spesifikasi kata ini akan dijelaskanjika saya berkesempatan untuk membuat SNAD series lainnya.
......
Hanya sebuah cerpen pendek dengan tokoh utama Sena, Naya, Adel dan Delon atau yang bisa disingkat SNAD. Dan