Rabu, 09 Januari 2013

Batik Dibalik Akulturasi

Hanya sebuah cerpen yang dibuat karena perintah diknas. Awalnya pas Ibu nyuruh buat cepet bikin, aku bilang entar aja soalnya aku biasanya sekali bikin langsung jadi. Dan pas kurang sehari, aku kelabakan. Parah -_-

Tema: Cintah Tanah Air

“Jangan lupa, bulan besok ada lomba pameran karya. Masing-masing kelas wajib mendirikan minimal 2 stand yang akan menjual barang-barang warisan budaya Indonesia. Dan tentu saja barang yang dijual tidak boleh ada yang sama dengan stand kelas lain. Oke sekian, sampai bertemu lagi di jam saya berikutnya.”

Dengan itu, Pak Budi,  guru fisika yang terkenal dengan cara mengajarnya: laki-laki dan perempuan tidak boleh duduk sebangku— segera meninggalkan ruang kelas X-E yang mendadak langsung ramai seperti pasar.

Dan hal yang sedang menjadi topik pembicaraan adalah pameran budaya yang akan diadakan di SMA mereka. Bukannya apa-apa, tapi pameran karya dalam pekan budaya yang di sekolah mereka akan selalu menjadi event paling ‘bergengsi’ terutama bagi kalangan anak muda di wilayah Surabaya dan sekitarnya, apalagi mengingat pameran ini terbuka untuk umum.

Dengan harga tiket masuk yang berkisar Rp 10.000,00— untuk tahun lalu, tentu harga tersebut tidaklah terlalu mahal. Bahkan jika ada kenaikan harga, paling maksimal adalah Rp 15.000,00. Tapi tergantung juga jika di tahun ini ada banyak sponsor yang ikut bergabung.

Diperkirakan pula— terutama oleh siswa-sisiwi SMAN 10, jika pekan budaya tahun ini akan lebih meriah dari tahun lalu.

Seperti saat ini, siswa-siswi di kelas X-E sedang sibuk membicarakan pekan budaya, terkecuali satu orang, sayangnya.

“Naya?”

Gadis yang sedari tadi berpangku tangan itu tersadar dari lamunannya ketika merasakan sebuah tepukan ringan di bahunya. Ia menoleh dan mendapati teman sebangkunya, Adel, menatapnya heran. “Ada apa? Kok kelihatannya kamu nggak semangat?”

Naya menghela napas pelan. “Kelihatan banget ya?”

“Kenapa memangnya?”

“Sebenarnya itu—”

“Nay, kamu nanti jadi desainer utama stand fashion kita ya!” Tiba-tiba terdengar suara Debra, dari bangku belakang.

“Apa?!” jawab Naya cepat. Sungguh, ia tak ingin terlibat dalam acara kali ini, apalagi menjadi desainer utamanya.

“Iya, Nay. Kamu kan suka desain baju gitu, jadi nanti kamu desain batik biar kelihatan lebih trendy atau gimana lah sesuai ide kamu.” Ahmad atau yang biasa dipanggil Mamat— ketua kelas X-E ikut menimpali. Bahkan hampir seluruh anak X-E mengangguk menyetujui.

Naya menggeleng lesu. Ia menumpukkan tangannya di depan dada dan berkata, “Tapi aku enggak mau.”

Adel yang sedari tadi diam mulai angkat bicara, “Nay, dari kita semua, hanya kamu yang paling ngerti soal desain baju. Intinya kamu itu satu-satunya harapan kelas kita supaya bisa jadi juara pertama lomba pameran, Nay.”

Seketika Naya pun terdiam. Begitu banyak hal yang ingin ia utarakan untuk menyanggah perkataan Adel tapi entah kenapa lidahnya terasa kelu. Seolah ada yang menahannya untuk itu.

“Jadi?” Kali ini suara Mamat terdengar lagi, ia mencoba memastikan.

Dan Naya hanya bisa mengangguk tak rela.

...

Ada banyak hal yang Naya suka di dunia ini. Salah satunya adalah dunia desain. Ia begitu jatuh cinta dengan dunia itu semenjak dikenalkan oleh tantenya yang juga seorang desainer ternama pada saat umurnya baru 9 tahun. Baginya, mendesain baju bukan hanya sekedar merancang bentuk dan model, membuat atau memberikan aksesoris tambahan. Ini tentang seni.

Tentang bagaimana sebuah baju bisa mempunyai nilai seni yang khas. Dan bagaimana pula baju bisa membuat pemakainya merasa nyaman, bukan hanya tentang harga, bentuk dan model. Sekilas memang terasa rumit, tapi itulah pengaplikasian kata ‘desain’ bagi seorang Kanaya Akbar.

Sayangnya, untuk kali ini, Naya merasa sangat berat hati untuk mendesain baju yang nanti akan dipamerkan.

Ia tidak terlalu suka dengan baju-baju yang berbau tradisional. Entah kenapa ia merasa jika sesuatu yang berbau tradisional adalah hal yang tabu untuk diubah karena merupakan warisan nenek moyang. Tidak, ia bukan tipe orang yang punya pemikiran akan terjadi hal-hal buruk (yang berbau spritual) dari nenek moyang (di alam lain) jika ia merubah karya mereka.


Oh, benarkah?

Tidak. Alasan sebenarnya adalah karena Naya telah terbiasa menggunakan produk impor. Ia lebih suka melihat katalog baju-baju keluaran brand-brand ternama luar negeri seperti Channel, Guess, Abbey Dawn, Bershka atau Abercrombie. Baginya baju-baju produk impor bisa dipastikan kuaitasnya dibanding baju-baju produk dalam negeri yang ia nilai terlalu meniru atau istilah jaman sekarang adalah ‘kw’ (kualitas) super (yang bisa diartikan kebalikan dari kata ‘kualitas super’ itu sendiri, yaitu kualitas yang rendah). Hal itulah yang membuat Naya lebih cenderung memilih baju-baju impor dan branded.

Dan sekarang ia dibebani tugas mendesain baju yang mempunyai unsur budaya Indonesia. Sungguh, ia tak tahu harus bagaimana cara menyikapi ini.

Ia sudah mencoba meminta saran ke beberapa teman yang mempunyai hobi sama dengannya, tapi tetap saja hasilnya nihil. Terang saja, kebanyakan temannya juga tidak terlalu dengan baju-baju dalam negeri apalagi yang berbau tradisional.
Jika ia memutuskan untuk mundur menjadi desainer utama bagi kelasnya, rasanya sudah terlambat. Lagipula, jujur saja ia tak ingin mengecewakan teman-temannya yang sudah menaruh harapan besar padanya. Tapi apa yang harus ia lakukan?

Ah ya, bagaimana ia bisa lupa dengan tantenya sendiri?

...

Naya mengetuk pintu rumah tante Tika yang hanya berbeda beberapa blok dari rumahnya.

“Permisi? Tante ini Naya!”

Nihil. Tak ada jawaban apapun.

Rumah mungil itu terlihat indah dengan taman kecil di halaman depannya. Bahkan ada kolam ikan kecil lengkap dengan air terjun imitasi di sisi kanan taman.

Tantenya juga sangat suka menjaga kebersihan. Jadi meskipun tantenya harus berpergian untuk urusan pekerjaan dan meninggalkan rumahnya sampai beberapa bulan sekalipun, rumahnya akan tetap bersih karena dia memang menyewa petugas kebersihan sendiri.

Naya pribadi sangat mengagumi tantenya yang berumur 28 tahun itu. Terlepas dari kenyataan bahwa tantenya adalah seorang desainer ternama, ia juga mengagumi tantenya sebagai pribadi yang pantang menyerah, pekerja keras dan penuh akan ide. Bisa dibilang, tante Tika adalah idola wanita keduanya setelah sang ibu.

“Naya?”

Tersadar dari lamunannya, Naya segera menoleh ke asal suara. Ternyata sang tante malah ada di depan pagar rumahnya dan masih berada di atas sepeda motornya dengan helm yang masih terpasang.

Pantas saja dari tadi tidak ada yang menjawab salamku. Tante sendiri saja baru pulang, batinnya.

“Err, aku mau minta saran nih, tante.” Naya meringis kecil.

“Ada apa memangnya?”

“Ada masalah yang rumit banget, tante. Bantu aku ya.”

Sang tante mengelus dagunya sejenak, berpikir. “Oke, tapi masuk dulu yuk. Gak enak ngobrol di luar begini.” balas tante Tika sebelum melepas helmnya dan memulai memakirkan motornya ke garasi.

...

“Jadi, masalah seperti itu yang kamu bilang rumit?!” tanya Tante Tika. Nada tak percaya terdengar jelas dari ucapannya.

Sedang Naya hanya bisa mengangguk lesu mendengar pertanyaan tantenya yang malah terkesan meremehkan masalahnya.

Itulah reaksi sang tante saat Naya baru saja selesai menceritakan masalah yang dianggapnya rumit tersebut. Mulanya Naya kira tantenya akan merasa kasihan dan segera memberinya saran agar bisa mengatasi masalah itu. Namun, sepertinya tidak begitu.

“HAHAHA!”

Tak lama kemudian, tawa tante Tika membahana ke seluruh ruangan.

Naya segera memicingkan matanya kesal begitu mendengar tawa nyaring dari tantenya. 
“Tante, ini gak lucu tau!”

Sementara sang tante mencoba menghentikan tawanya. Dia memegangi perutnya yang terasa sedikit kaku karena tawanya sendiri. Karma, eh?

“Baiklah, maafkan tante ya.” Tante Tika meringis kecil sambil masih memegangi perutnya. “Tapi beneran, itu bukan masalah yang besar, Nay.”

Mendengar itu mata Naya langsung berbinar penuh keantusiasan. “Jadi tante bisa bantu aku kan?”

“Tentu.”

...

“Dan juara pertama untuk lomba pameran karya tahun ini adalah......kelas X-E!!!”
Sontak sorakan bahagia terdengar dari arah kanan aula dimana 3 stand milik kelas X-E berdiri. Mereka saling bersuka cita dan bahagia. Sorakan makin keras ketika Mamat sebagai ketua kelas X-E maju ke atas panggung untuk menerima hadiah berupa piala dan uang.

Terlihat sekali siswa-siswi X-E sangat bangga dengan kemenangan ini. Bahkan tak jarang tadi mereka saling berpelukan satu sama lain untuk meluapkan kegembiraan.
Seolah tak cukup dengan itu, mereka kembali dikagetkan oleh pengumuman yang dibacakan oleh kepala sekolah. “Kami umumkan pula jika baju-baju dari stand kelas X-E yang diberi nama ‘Batik and Metropolis’ akan dipamerkan dalam acara ‘Youth Life International 2012’ hasil kerja sama SMAN 10 Surabaya dengan London Youth Voice!”

Suara tepuk tangan pun tak luput terdengar. Baik dari siswa-siswi SMAN 10 maupun masyarakat yang menguncungi pameran karya itu.

“NAYA!”

Naya yang sedari tadi berdiri menjaga stand tiba-tiba mendapat banyak pelukan dari teman-temannya. Banyak dari mereka yang mengucapkan selamat karena berkat baju hasil desainnya lah kelas X-E bisa keluar sebagai pemenang pertama.
Sebenarnya Naya tidak melakukan hal-hal luar biasa pada desain bajunya.

Ia hanya ‘mencampur’ motif dan warna saja. Misalnya seperti karyanya ‘Batik and Metropolis’, ia memakai motif Mega Mendung dari batik khas daerah Cirebon dengan gradasi warna-warna pastel. Agak aneh kedengarannya memang, karena biasanya Mega Mendung identik dengan merah dan biru. Tidak hanya itu, ia juga menambahkan doodle untuk mengisi ruang-ruang kosong di daerah bagian bawah baju. Sedangkan model yang ia ambil adalah sebuah dress selutut dan setengah lengan.

Ia mulai menyadari, jika banyak sekali dari Indonesia yang bisa digali. Baik itu hanya model, motif, warna maupun inspirasi. Bahkan jika potensi karya dan kreativitas serta inovasi anak bangsa makin digali, bukan tidak mungkin suatu saat nantinya akan mucul brand-brand ternama baru yang mengusung tema Indonesian Metro Culture.

Naya sendiri juga bertekad, jika mulai saat ini ia akan terus membuat desain-desain baju dengan Indonesian Metro Culture supaya anak-anak muda Indonesia bahkan mancanegara tertarik dan ingin memilikinya. Ia juga akan mengajak teman-temannya untuk ikut dalam proyeknya ini.

Jika bukan kita sebagai anak bangsa yang akan melestarikan budaya ini, lalu siapa lagi?

...

Flashback

“Lalu caranya?”

“Akulturasi.”

“Apa?” Naya mengerutkan keningnya dan menatap sang tante tak percaya.

“Kamu nggak tahu akulturasi itu apa? Oke, tante jelaskan ya. Jadi—“

Naya menggeleng cepat. “Aku tahu, tante. Tapi maksudku, apa hubungannya?”

“Akulturasi adalah percampuran dua budaya yang berbeda yang menghasilkan sebuah budaya baru, kan? Nah disini kamu tinggal mencampurkan budaya-budaya itu menjadi sebuah terobosan baru.”

Sang keponakan segera memutar bola matanya. Ia jelas-jelas tahu tentang itu. “Dan sekarang pertanyaannya adalah budaya apa yang akan dicampurkan?”

“Budaya yang kamu sukai, Nay. Kamu suka Retro kan? Kenapa gak coba dulu dengan Retro dengan Parang?”

Naya menatap tantenya seolah-olah dia baru saja mengemukakan jika alien akan menginvasi bumi dalam waktu hitungan detik. “Gak cocok, tante!”

Tante Tika hanya mengedipkan satu matanya, “Belum dicoba kan?”

Naya terdiam. Ya, ia belum mencobanya jadi tidak seharusnya berkata jika itu tidak mungkin atau akan terasa aneh. Lagipula, sepertinya tidak buruk juga kedengarannya.

Ia pun tersenyum sangat lebar sampai matanya hanya menyisakan garis lurus saja. “Terima kasih.” ucapnya tulus.


....
Fin.

0 komentar:

Posting Komentar